Alasan Presiden terpilih Joko Widodo bahwa subsidi bahan bakar minyak (BBM) harus dikurangi karena membebani APBN tidak beralasan.
Menurut pengamat anggaran politik, Uchok Sky Khadafi, tidak masuk akal kalau subsidi BBM disebut membebani APBN.
"Alasan ini tidak ilmiah dan alasan ini hanya asal-asal saja dibuat oleh untuk menciptakan opini yang menyesatkan. Hal ini bisa lihat dari perbandingaan realisasi anggaran tahun 2013 atau APBN Perubahaan 2013," jelas Uchok, (Kamis, 28/8).
Dia menjelaskan, yang membebani APBN bukan subsidi buat rakyat, tetapi lebih sangat membebani adalah pembayaran bunga utang tahun 2013. Realisasi belanja pembayaran bunga utang tahun 2013 sebesar Rp 113 triliun atau sebesar 100,46 persen dari jumlah dianggarkan dalam APBN Perubahaan sebesar Rp 112,5 Triliun.
Hal ini berarti realisasi belanja pembayaran bunga utang tahun 2013 lebih besar Rp 12,5 triliun atau naik 12.46 persen dari realisasi tahun tahun 2012 sebesar Rp 100,5 triliun.
Sedangkan realisasi seluruh subsidi buat rakyat tahun 2013 sebesar Rp 355 triliun, dan bila dibandingkan pada tahun 2012, ada kenaikan sebesar Rp 2,49 persen dari realisasi tahun 2012 sebesar Rp 346,4 triliun
"Malahan khusus untuk realisasi anggaran subsidi energi dari tahun 2012 ke tahun 2013 mengalami penurunan dratis sampai Rp 1,8 triliun. Dimana, realisasi subsidi energi pada tahun 2012 sebesar Rp 30,9 triliun, dan pada tahun 2013 hanya sebesar Rp 30,9 triliun," ungkap Uchok.
Dalam RAPBN 2015, anggaran untuk belanja subsidi energi adalah Rp 291,1 triliun. Jumlah itu meningkat dari alokasi APBN perubahan 2014 sebesar Rp 246,5 triliun. Jokowi menilai, subsidi tersebut terlalu besar sehingga membebani APBN. Padahal, kata dia, jika anggaran subsidi ditekan, akan ada ruang fiskal yang lebih besar untuk program kerja lain.
[zul]