Tidak ada demokrasi tanpa partai politik. Namun dimana letak posisi dan mekanisme partai di dalam sebuah demokrasi, itu yang berbeda-beda di masing-masing tempat dan negara.
Demikian disampaikan Penasihat Tim Transisi Jokowi-JK, Hasyim Muzadi, kepada Rakyat Merdeka Online pagi ini (Selasa, 19/8).
"Jadi sekarang sedang dicari modus dan mekanismenya. Karena meninggalkan partai dalam demokrasi tidak mungkin," jelas mantan Ketua Umum PBNU ini.
Hasyim Muzadi menjelaskan, berdasarkan pengalaman pemerintahan SBY selama selama 10 tahun, terjadi pengkavlingan kekuasaan. Karena kementerian diserahkan kepada partai. Sehingga menyulitkan gerak kabinet.
"Karena departemen berinduk ke partai, terjadi politisasi birokasi dan anggaran. Departemen juga mandul. Presiden mau menegur tidak bisa, karena presiden sendiri ketua partai," sindir Kiai Hasyim.
Oleh karena itu, katanya lagi menambahkan, sedang dicarikan bentuk mekanisme agar bagaimana partai tidak mengkavling kekuasaan ketika masuk pemerintahan Jokowi-JK. "Kan mestinya ketika partai masuk ke negara, dia harus meleburkan diri untuk kepentingan negara. Bukan negara yang dipartaikan," ungkap dia.
Karena itu dia sepakat dengan apa yang dilakukan Abraham Lincoln ketika menjadi Presiden Amerika Serikat. Yaitu, loyalitas kepada partai berakhir ketika loyalitas pada negara dimulai. "Sekarang berbalik, loyalitas kepada partai meningkat ketika sudah masuk kekuasaan," sindirnya lagi.
Meski begitu dia menambahkan, partai-partai pendukung Jokowi-JK silakan mengirimkan nama kadernya untuk kemudian ditentukan presiden apakah masuk kabinet. Namun kalau sudah masuk kabinet, jangan dikendalikan partai. "Partai bisa kontrol lewat legislatif atau lewat Wantimpres untuk menghindari pengkavlingan," tandasnya.
[zul]