Berita

Tindakan Aborsi Akibat Perkosaan, Dokter Bisa Dijerat

SABTU, 16 AGUSTUS 2014 | 19:31 WIB | LAPORAN: ZULHIDAYAT SIREGAR

Peraturan Pemerintah 61/2014 tentang Kesehatan Reproduksi terutama yang terkait dengan persoalan aborsi akibat perkosaan perlu dikaji kembali. Karena ada persoalan dalam penyusunan normanya.

Pertama, dalam KUHP persoalan aborsi masih menjadi delik pidana. Dalam pasal 346-349 KUHP jelas disebutkan, korban perkosaan bukan alasan pembenar untuk melakukan aborsi.

"Dan tentunya PP ini tidak bisa menjadi aturan yang lex specialist dari KUHP," jelas Anggota DPR RI Aboe Bakar Al Habsy di akun Twitternya (Sabtu, 16/8).

Dia menjelaskan, lex specialist atau aturan khusus hanya bisa dilakukan pada tingkatan hukum yang sama semisal UU. "Karenanya dokter akan berpotensi pula terjerat pasal ini, karena pasal tersebut masih berlaku," tegasnya.

Kedua, PP tersebut mengatur norma persoalan reproduksi. Oleh karena itu, dia menambahkan, seharusnya alasan pembenar untuk melakukan aborsi hanyalah yang berkaitan langsung dengan kedaruratan medis.

Ketiga, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyampaikan keberatan untuk melakukan aborsi dengan alasan korban perkosaan. Mereka hanya mau melaksanakan aborsi bila berkaitan langsung dengan kondisi kesehatan.

"Nah, pertanyaannya siapakah yang akan melakukan aborsi dengan aman, bermutu, dan bertanggung jawab jika para dokter sudah tidak mau menjalankannya?" katanya mempertanyakan.

Keempat, aborsi bertentangan dengan sumpah dokter yang menyatakan bahwa mereka akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan. "Jadi menurut sumpah dokter penghormatan atas jiwa seseorang itu berlaku sejak ada zigot, bukan 40 hari setelah datang bulan terakhir," tandas politikus PKS ini.

Dalam PP 61/2014 tentang Kesehatan Reproduksi tersebut diatur, masalah aborsi bisa dilakukan untuk kedaruratan medis dan untuk korban perkosaan. Sedangkan tindakan aborsi akibat perkosaan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.

Terbitnya PP 61/2014 ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, khususnya Pasal 75 Ayat (1) yang ditegaskan, bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi terkecuali berdasarkan indikasi kedaruratan medis, dan kehamilan akibat perkosaan yang dapat menimbulkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. [zul]

Populer

Prabowo Perintahkan Sri Mulyani Pangkas Anggaran Seremonial

Kamis, 24 Oktober 2024 | 01:39

Karangan Bunga untuk Ferry Juliantono Terus Berdatangan

Selasa, 22 Oktober 2024 | 12:24

KPK Usut Keterlibatan Rachland Nashidik dalam Kasus Suap MA

Jumat, 25 Oktober 2024 | 23:11

Pemuda Katolik Tolak Program Transmigrasi di Papua

Rabu, 30 Oktober 2024 | 07:45

Akbar Faizal Sindir Makelar Kasus: Nikmati Breakfast Sebelum Namamu Muncul ke Publik

Senin, 28 Oktober 2024 | 07:30

Muncul Petisi Agus Salim Diminta Kembalikan Uang Donasi

Rabu, 23 Oktober 2024 | 02:22

Bahlil Tunjukkan Kesombongan pada Prabowo

Jumat, 25 Oktober 2024 | 13:37

UPDATE

Indonesia Butuh Banyak Dokter Spesialis Jantung

Jumat, 01 November 2024 | 19:59

Pembangunan Tol Jagoratu 2025 Diyakini Tingkatkan Kunjungan Pariwisata dan Ekonomi Sukabumi

Jumat, 01 November 2024 | 19:49

Polisi Geledah Kementerian Komdigi

Jumat, 01 November 2024 | 19:34

Fraksi PKS Dorong Perubahan RUU Perikanan dan UU Kelautan

Jumat, 01 November 2024 | 19:30

Suswono Jangan Recoki Parpol Lain

Jumat, 01 November 2024 | 19:23

Prabowo Makan Malam dengan Ridwan Kamil, Pengamat: Bentuk Nyata Dukungan

Jumat, 01 November 2024 | 18:30

Polres Sukabumi Tangkap Gunawan "Sadbor" Terkait Judi Online

Jumat, 01 November 2024 | 18:06

Halal Kulture Market Potensi Lahirkan Ekosistem Muslim Muda

Jumat, 01 November 2024 | 18:02

Aji Assul Diingatkan untuk Konsisten Melawan Rezim Matakali

Jumat, 01 November 2024 | 17:52

Israel Bombardir Kamp Pengungsi Gaza Tengah, 47 Tewas

Jumat, 01 November 2024 | 17:35

Selengkapnya