. Boediono, sang Wakil Presiden, boleh saja tak lagi memegang tongkat kekuasaan. Pun demikian dengan Sri Mulyani, boleh saja namanya hanya sempat terlintas saat kompetisi Pilpres lalu menghilang lagi dari pembicaraan. Sementara Partai Serikat Rakyat Indonesia (SRI), yang disiapkan untuk menjadi kendaraan Sri Mulyani di 2014, tumbang di awal pertandingan.
Namun menanganggap Boediono dan Sri Mulyani tidak lagi berpengaruh dalam penggung politik pasca Pilpres 2014, bisa dikatakan kesimpulan yang diambil terburu-buru. Dua sosok ini, yang diyakini sebagai generasi baru Mafia Barkeley, dipercaya sudah menyebar "kadernya" untuk menduduki kursi menteri di kabinet Jokowi.
Mafia Barkeley adalah istilah yang digunakan oleh David Ransom untuk mengklasifikasikan beberapa ekonom yang menjadi pilar utama dan arsitek ekonomi pemerintahan Orde Baru. Di era Soekarno, mereka disebut sudah aktif dalam menggerogoti pemerintahan yang dikenal sangat nasionalistik dan tak mau tunduk dalam penjajahan gaya baru, yang kemudian dikenal dengan istilah nekolim; neo-kolonialistik dan neo-imperalistik.
Mafia Barkeley, yang juga suka disebut dengan kelompok Sosialis Kanan, memang tak melulu lulusan Universitas California, Berkeley. Kecuali tokoh-tokoh di awal seperti Widjojo Nitisastro, yang bahkan disebut sebagai pemimpin non-formal kelompok ini. Disebut pemimpin non-formal, karena memang kelompok ini tak punya organisasi secara resmi.
Dalam politik, mereka menggunakan politik garam. Dengan gaya politik ini, gerakan mereka seperti garam yang menyerap dan larut, tak nampak, namun begitu terasa dalam setiap momentum politik. Lebih-lebih di era Orde Baru, mereka adalah anak-anak emas.
Reformasi pun ternyata tak mampu melepaskan dominasi kelompok yang didukung dan disokong kuat oleh Barat, terutama Amerika Serikat tersebut. Kader mereka yang bertebaran, malah semakin leluasa menguasai kursi-kursi kekuasaan. Tak heran, kebijakan ekonomi pasca Reformasi, ternyata lebih liberal dibanding era Soeharto. Boediono dan Sri Mulyani, merupakan dua sosok yang dinilai menjadi arsitek ekonomi liberal di era Reformasi ini.
Setelah Jokowi disebutkan memenangkan Pilpres oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), kader-kader Boediono dan Sri Mulyani dikabarkan sudah dipersiapkan untuk mengisi berbagai jabatan, terutama menteri. Mereka menyusup dengan berbagai cara, dari mulai menyusun wacana profesionalisme hingga membangun citra. Indikator paling mudah dibaca untuk membuka kedok mereka adalah ide dan gagasannya yang sangat liberaslitik, dan bahkan sangat sinis pada gagasan nasionalisme.
Saat ini tentu tergantung Jokowi-JK. Mampukah mereka menolak kelompok yang punya jejaring ke Bank Dunia dan IMF ini? Atau justru akan memberi karpet merah kepada mereka, sebagaimana Soeharto dulu.
[ysa]