. Stigma yang menyebabkan luka batin bangsa Indonesia akibat Pilpres 2014 harus dicabut meski terasa sakit agar bangsa Indonesia dapat berdamai dengan masa lalunya. Penyebutan keturunan Tionghoa, beragama Katolik, pemberhentian tidak hormat, pelanggaran HAM, Perang Badar, dan PKI merupakan beberapa penyebutan yang muncul dalam pilpres lalu yang bisa menjadi luka batin bangsa ini kedepan.
Demikian ditegaskan oleh Ketua Umum Presidium Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA), Muliawan Margadana, dalam penutup rapat kerja pengurus baru ISKA 2013 -2017 di Wisma Samadi, Jakarta (Minggu, 20/7). Menurut Muliawan, penyembuhan bangsa dari luka batin ini harus dilakukan bersama-sama seluruh komponen tanpa memandang agama, suku, ras, kelompok ataupun partai.
"Kita tidak mungkin menjadi bangsa besar, sekalipun semua pemimpin bangsa menghendaki dan menyuarakannya jika luka-luka batin ini tidak disembuhkan terlebih dahulu," katanya.
Menurut dia para pimpinan bangsa dan calon pemimpin bangsa masa depan perlu melihat Pilpres sebagai bagian dari demokrasi dan proses mendewasakan diri menjadi bangsa yang disegani mengingat proses itu dilihat oleh dunia internasional. Para kandidat capres dan cawapres harus diposisikan sebagai kader terbaik bangsa yang memiliki tujuan mulia untuk memenuhi tujuan berbangsa dan bernegara, sehingga tidak boleh ada sebutan kata menang atau kalah.
"Sebab pada hakekatnya pencalonan ini adalah upaya mengabdi bagi bangsa," tekannya.
ISKA, kata Muliawan, meminta agar kedua kandidat capres-cawapres dan lembaga Negara untuk menempatkan semua tindakannya dengan berlandaskan konstitusi. ISKA juga berharap TNI dan Polri profesional dalam bertindak dan mengutamakan kepentingan bangsa sebagai dasar dari semua tindakannya.
Semua komponen bangsa, lanjutnya, perlu bersatu padu kembali untuk menerima keputusan Pilpres dan mendukung Presiden-Wakil Presiden terpilih sebagai pilhan rakyat, untuk selanjutnya membangun pemerintahan yang kuat dan efektif serta menjaga Demokrasi yang berlandaskan Pancasila dengan baik. Adalah kewajiban semua pihak untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, karena perpecahan yang tidak perlu akan menimbulkan luka batin baru dan membuat semua energi bangsa terserap percuma.
"Biarlah Pilpres ini menjadi titik kebangkitan semangat kekeluargaan dan gotong royong menuju bangsa yang besar dan semakin disegani," katanya.
"Bangsa ini memerlukan pemimpin bangsa yang berintegritas, satu kata dan perbuatan serta bersuri-tauladan. Para pemimpin bangsa sekarang harus belajar kembali dari para pendiri bangsa seperti Jenderal Sudirman, Agus Salim, Sri Sultan HBIX, Soekarno, Mohammad Hatta, dan lain-lain. Saya yakin mereka memiliki ambisi pribadi, tetapi mereka mengabaikannya demi masa depan bangsa," sambung Muliawan.
[rus]