"VICTORY cannot be bought or sold. It can only be won"
Pertama kali dalam sejarah Republik Indonesia, kita memiliki tiga Presiden RI. Presiden pertama adalah Susilo Bambang Yudhoyono yang masih resmi menjabat Presiden RI hingga bulan Oktober 2014. Presiden kedua, Prabowo Subianto, Presiden RI terpilih versi quick count empat lembaga survei Puskaptis, LSN, JSI dan IRC.
Presiden ketiga, Joko Widodo, Presiden RI terpilih versi quick count delapan lembaga survei Litbang Kompas, LSI, CSIS-Cyrus, Indikator Politik, Populi Center, RRI, SMRC, dan Poll-Tracking Institute.
Kedua Presiden RI versi quick count telah menyelenggarakan acara pengucapan syukur atas kemenangannya masing masing yang disiarkan melalui stasiun televisi pendukungnya. Bahkan masyarakat pendukung Jokowi-JK mengungkapkan kegembiraannya di lingkaran HI yang telah menjadi tempat simbol perjuangan rakyat. Akibatnya, situasi politik Indonesia menghadapi ketidakpastian.
Asosiasi lembaga survei penyelenggara quick count pun turut memperkeruh suasana. Dengan membuat pernyataan yang cenderung menyerang lembaga survei lain yang kebetulan hasilnya berbeda dan digunakan oleh kubu kandidat lain.
Pernyataan terbuka yang menantang lembaga survei dengan hasil berbeda untuk buka-bukaan sekaligus meminta Dewan Etik melakukan audit untuk mencari siapa yang paling benar seolah-olah mengukuhkan bahwa sebenarnya mereka adalah lembaga survei pendukung salah satu kandidat calon Presiden. Bukan lagi sebagai lembaga survei independen yang berfungsi sebagai penyaji data dan informasi tentang kecenderungan pilihan rakyat.
Meskipun kedua kandidat telah bertemu Presiden SBY yang secara khusus meminta agar menahan diri dan menunggu hasil resmi KPU yang akan diumumkan tanggal 22 Juli 2014, tapi keesokan harinya kubu Prabowo-Hatta mengumumkan hasil "real count" yang dilakukan oleh saksi mereka meskipun data yang masuk baru sekitar 60 persen. Adapun hasil sementara Prabowo-Hatta unggul dengan meraih suara 43.874.556 (51.67 persen) dan Jokowi-JK 40.100.509 (48.33 persen).
Atas segala perkembangan yang terjadi kita sangat prihatin apabila masing-masing kubu telah membawa suasana politik yang tadinya aman malah menjadi potensi kisruh. Hanya karena kedua kubu sangat percaya kepada lembaga survei. Di sini kita bisa lihat bahwa kedua kandidat tidak menetapi janji mereka seperti yang pernah dilontarkan selama kampanye. Padahal Pilpres belum sampai 24 jam berlalu. Nafsu ingin menang mengalahkan kesabaran menunggu proses yang sesuai dengan undang-undang.
Pertama, kedua kandidat ternyata tidak memiliki kepercayaan terhadap kelembagaan resmi KPU sebagai satu-satunya lembaga penyelenggara Pemilu Pilpres. Padahal dalam kampanye mereka, program terobosan akan banyak dilakukan baik untuk meningkatkan kinerja maupun meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintah. Merayakan kemenangan Pilpres berdasarkan hasil penghitungan quick count lembaga survei adalah sangat bertentangan dengan salah satu janji utama mereka tersebut.
Kedua, masing-masing kubu sebenarnya tidak memiliki sikap "pandai menang pandai kalah". Menggunakan lembaga survei untuk mempengaruhi opini publik dengan cara merayakan kemenangan terlebih dahulu bisa sangat berbahaya bagi keamanan di masyarakat. Potensi konflik horizontal antara masing-masing pendukung bisa saja terjadi apabila pengumuman KPU tidak sesuai dengan hasil quick count. Padahal, selain tidak resmi, hasil quick count bukan menjadi penentu siapa pemenang Pilpres.
Kita juga sangat menyayangkan apabila untuk sebuah kemenangan semu, telah terjadi pembatalan kontrak sebuah lembaga survei yang hasinya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Sehingga diperlukan lembaga survei tambahan untuk memberikan hasil sebagaimana yang diinginkan. Sungguh prihatin kita apabila politisasi intelektual selama kampanye malah menjadi komersialisasi intelektual. Kita juga prihatin bahwa kepercayaan publik atas hasil quick count telah ditanggapi berlebihan dengan membuat spanduk ucapan selamat atas kemenangan salah satu kandidat yang terpampang di salah satu kantor wakil rakyat.
Kita tentu masih ingat pada tahun 2004 juga terjadi perang tanding quick count antara kubu Megawati, sebagai petahana Presiden, versus kubu SBY. Saat itu kubu Mega-Hasyim menggunakan TVRI bekerja sama dengan Institute for Social Empowerment and Democracy. Di mana Mega dinyatakan menang tipis atas SBY (50,07 persen) dan SBY-Kalla meraih 49,93 persen Sementara menurut quick count The National Democratic Institute (NDI) dan LP3ES, SBY unggul relatif besar dengan perolehan suara 62 persen, sedangkan Mega 38 persen. Kita ketahui bahwa hasil KPU adalah kemenangan SBY-JK.
Atas beberapa kejadian di atas, banyak yang menduga bahwa proses penetapan pemenang Pilpres bisa saja ditentukan oleh Mahkamah Konstitusi. Dan masing-masing kubu juga telah mempersiapkan timnya untuk membawa bukti-bukti pelanggaran kubu lain ke sidang MK. Bahkan sudah sejak dini telah dilemparkan isu ke publik, akan adanya pemilu Pilpres ulang di berbagai daerah. Keputusan pemilihan ulang akan dikeluarkan oleh MK. Sementara citra MK setelah tertangkapnya mantan Ketua MK Akil Mochtar oleh KPK, masih belum pulih.
Kita patut belajar dari politisi pendiri negara Republik Indonesia dalam menjaga suasana harmonis di antara kalangan elite politik. Pertama oleh Buya Hamka, yang meskipun pernah dipenjara Soekarno, namun Buya Hamka tetap bersedia menjadi imam shalat jenazah Soekarno. Karena memang itulah permintaan Soekarno sebelum wafat. Buya Hamka tidak ada rasa dendam ke Soekarno.
Mohammad Natsir, karena pernah menjadi pencetus Kelompok Petisi 50, dilarang ke luar negeri oleh pemerintahan Soeharto. Karena status dicekal Natsir tidak bisa menerima gelar Doktor Kehormatan dari Universiti Kebangsaan Malaysia dan Universiti Sains Pulau Pinang. Tapi secara santun Natsir sering hadir pada perayaan Idul Fitri dan bersilaturahmi di kediaman Soeharto di Cendana,
Sikap toleran dan penuh empati diperlihatkan Ketua Umum Partai Kristen Indonesia, IJ Kasimo kepada Prawoto Mangkusasmito, selaku Ketua Umum Masyumi setelah Mohammad Natsir. Prawoto hidupnya sangat sederhana bahkan tak punya rumah. Kemudian IJ Kasimo berinisiatif menginisiasi urunan untuk membelikan rumah untuk Prawoto. Meskipun berlainan agama, kedua politisi tersebut saling menghormati dan membina hubungan yang harmonis.
Ketika hubungan Soekarno dan Hatta merenggang, beberapo orang dekat Soekarno tidak mencantumkan nama Hatta pada teks proklamasi. Soekarno marah dan menegur mereka. "Orang boleh benci pada seseorang! Aku kadang-kadang saling gebug dengan Hatta!! Tapi menghilangkan Hatta dari teks proklamasi, itu perbuatan pengecut!!!".
Soekarno telah memperlihatkan sikap kepemimpinan fair dan jujur atas peran penting Hatta dalam mendeklarasikan kemerdekaan Republik Indonesia
Sehari sebelum dilangsungkannya pilpres, beberapa rekan membuat acara doa bersama dengan tajuk "Indonesia Tenterem". Selain berdoa, acara yang diselenggarakan di sebuah studio mini tersebut juga diisi dengan pembacaan puisi, sajian musik dan nyanyi serta pidato dari seniman dan perupa. Semua berharap suasana harmoni di antara elite politik bisa terjalin sehingga Indonesia tenterem bisa terwujud. Seperti yang telah diperlihatkan oleh Bapak Bangsa kita tadi.
Sebagai kandidat calon Presiden, kemenangan jumlah suara memang sangat diperlukan. Tetapi janganlah dengan cara cara transaksional, agar bangsa Indonesia tidak dipandang sebagai bangsa yang tidak bermartabat.
Kita memerlukan elite politik yang mampu melakukan transformasi kebaikan, kesantunan, toleransi, kesetiakawanan, dan tetap suka cita menerima kekalahan. Agar Indonesia Tenterem dapat terwujud.
*Penulis adalah sosiolog dan tinggal di Jakarta.