Jumlah pria yang lebih rendah menjadi salah satu penyebab mengapa banyak wanita Thailand yang lajang dan tidak memiliki anak.
Begitu hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari Institute for Population and Social Research di Universitas Mahidol Thailand yang dilansir Asia One pada Rabu (2/7).
Dalam penelitian ditemukan, rendahnya jumlah pria terjadi akibat tingkat kematian yang tinggi. Hal itu menyebabkan ketidakseimbangan gender di bursa pernikahan Thailand.
Secara lebih rinci disebutkan, pada tahun 2010, terdapat lebih banyak jumlah perempuan berusia yang berusia 15 hingga 49 tahun, tepatnya ada 782.716 lebih perempuan dibandingkan pria.
Selain itu, menurut salah satu peneliti, Sutthida Chuanwan, preferensi seksual, gaya hidup, serta kepercayaan diri perempuan yang lebih tinggi dalam peran dan status sosial juga menjadi alasan lain mengapa banyak wanita Thailand melajang.
Thailand sendiri dikenal sebagai negara yang menerima variasi preferensi seksual.
"Telah ada perubahan di mana pria berpasangan dengan pria dan wanita dengan wanita. Ini menghasilkan distribusi yang tidak merata antara pria dan wanita," jelas Chuanwan.
Ia menambahkan, faktor preferensi seksual sesama jenis telah menyumbang penyusutan populasi sebesar 3-4 persen pada tahun 2010.
Selain itu, sambungnya, juga terdapat pergeseran usia untuk mendapatkan pasangan. Pada tahun 1970, rata-rata pria Thailand mendapatkan pasangan pada usia 24,7 tahun namun pada tahun 2010 bergeser menjadi 28,7 tahun. Sedangkan dengan perbandingan tahun yang sama, usia wanita mendapatkan pasangan bergeser dari 22 tahun menjadi 24,9 tahun.
Dengan tingkat wanita lajang yang tinggi, maka angka kelahiran juga turut merosot menjadi 1.6 per wanita pada tahun 2013. Sebagai perbandingan, pada tahun 1970, angka kelahiran Thailand mencapai enam per wanita.
Rendahnya tingkat perkawinan serta merosotnya angka kelahiran dikhawatirkan dapat menyebabkan masalah demografi di Thailand untuk tahun-tahun mendatang.
Peneliti lainnya, Suporn Jaratsitm menyebut Thailand seharusnya dapat mencontoh Jepang.
"Demografi Jepang mirip dengan Thailand, tapi mereka telah menghadapi masalah ini jauh lebih lama daripada yang kita miliki," katanya.
Jepang menerapkan kebijakan agar masyarakatnya masih dapat bekerja hingga usia 65 tahun serta mendorong mereka untuk memiliki anak lagi.
Selain itu, Jepang juga menawarkan tunjangan kesejahteraan kepada masyarakatnya seperti cuti hamil serta menyediakan tempat penitipan anak agar memudahkan wanita untuk menjalankan karir bersamaan dengan mengrus keluarga.
[mel]