Proses pemakzulan Bupati Karo yang terkatung-katung mulai memakan korban. Korbannya adalah para pelaku mogok makan di depan Istana Presiden, Jakarta.
Seorang dari empat mahasiswa asal Tanah Karo, Sumatera Utara, yang menggelar aksi mogok makan sejak Selasa (17/6) pingsan tak sadarkan hingga harus dilarikan ke rumah sakit sekitar Pukul 12.30 WIB (Rabu, 18/6). Demikian diberitakan JPNN.
Para mahasiswa menuntut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera menerbitkan surat keputusan pemecatan Bupati Kena Ukur Karo Jambi Surbakti.
Seorang pengujukrasa dari Gerakan Penyelamatan Tanah Karo Simalem (GPTKS), Julianus Sembiring, mengatakan, rekannya yang bernama Desmon itu sempat kejang-kejang namun memaksa diri tetap melanjutkan aksi.
"Kami membawanya ke Rumah Sakit Tarakan. Dokter bilang karena aksi mogok makan. Tapi untungnya sekarang sudah tidak apa-apa. Sudah sadar kembali," kata Sembiring.
Desmon menjalani perawatan intensif di rumah sakit selama empat jam lebih. Namun bukan beristirahat, ia tetap ngotot melanjutkan aksi mogok makan dan kembali bergabung bersama tiga rekan lainnya yang masih bertahan.
"Ini demi kelangsungan hidup masyarakat Karo. Keluarga saya semua terkena efek letusan Gunung Sinabung dan sampai sekarang banyak yang terlunta-lunta," ujar Desmon.
Desmon bersama tiga rekan lainnya bertekad melanjutkan aksi mogok makan hingga Presiden bersedia menanadatangani dan menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) pemberhentian Kena Ukur Karo Jambi Surbakti dari jabatan Bupati.
Menurut undang-undang, pemakzulan itu sudah melewati tenggat waktu 30 hari yang ditentukan sejak keputusan Mahkamah Agung. Akibatnya, pengesahan APBD (anggaran pendapatan dan belanja daerah) Kabupaten Karo menjadi terhambat dan berdampak terhadap kelangsungan nasib para pengungsi.
Sebelumnya Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri, Didik Suprayitno, menyatakan permohonan dan salinan draft pemakzulan sudah diserahkan Kemendagri ke sekretariat negara pada 24 Apri lalu. Artinya jika mengacu pada pasal 123 ayat 4 huruf (e) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 tahun 2005, maka Keppres paling lambat sudah tersebut pada 24 Mei. Namun hingga kini, Keppres yang diharapkan tak juga kunjung terbit.
Atas kondisi ini, Pakar Hukum Tata Negara, Irman Putra Sidin, menilai Presiden SBY telah melakukan pelanggaran terhadap undang-undang. Karena dalam pasal tersebut diatur, Presiden wajib memproses usul pemberhentian Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah tersebut, paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak DPRD menyampaikan usul tersebut.
[ald]