Berita

Jakarta International School (JIS)

Dilaporkan Guru JIS, Orang Tua Siswa Minta Perlindungan LPSK

Polri Didesak Perhatikan Korban Pelecehan Seksual
RABU, 18 JUNI 2014 | 09:35 WIB | HARIAN RAKYAT MERDEKA

Penyelesaian kasus kekerasan seksual anak di Jakarta International School (JIS) belum menunjukkan titik terang. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terpaksa menggandeng Lembaga Saksi dan Korban (LPSK) terkait laporan balik sejumlah oknum guru JIS terhadap DE, orang tua siswa korban kekerasan seksual di sekolah internasional itu.

Di balik keberanian para orang­tua siswa melaporkan kasus kekerasan seksual yang menimpa anaknya di sekolah internasional tersebut, mereka malah  ber­ha­dapan dengan laporan pen­ce­maran nama baik dari sejumlah guru JIS yang merasa dirugikan.

Sebelumnya, DE selaku orang­tua terduga korban kekerasan sek­sual di sekolah JIS telah me­la­porkan dugaan tindak ke­ker­asan seksual terhadap anaknya ke kepolisian.


Namun, kini dia dilaporkan balik oleh oknum guru JIS yang merasa dicemarkan nama baiknya.

“Kami berkoordinasi dengan LPSK terkait permintaan perlin­dungan pelecehan seksual. Be­la­kangan ini, ibu korban melapor ke kepolisian minta perlin­dung­an. Di sisi lain, ada orang yang me­laporkan pelapor dengan du­gaan pencemaran nama baik ke kepolisian,” kata Ketua Asrorun Ni’am Jakarta, kemarin.

Dia menilai, pelapor dalam hal ini orang tua korban kekerasan seksual sebenarnya tidak dituntut balik. Sementara itu, Sekretaris KPAI, Erlinda, menjelaskan se­telah orang tua korban  mela­porkan kasus kekerasan seksual yang menimpa anaknya ke Polda Metro Jaya, hingga saat ini belum ada perkembangan yang berarti.

“Sampai saat ini, kami masih me­nunggu hasil dari perkem­bang­an kasus pelecehan di JIS yang masih ditelusuri Polda. Tapi, kami sudah memiliki data dari ber­bagai sumber,” ujarnya.

Karena itu, dia mendorong LPSK agar melin­dungi orangtua murid yang dila­porkan ke Polda tersebut.

Menyikapi hal ini, Wakil Ketua LPSK Lili Pintauli meminta pi­hak Polri memberikan per­lin­dungan kepada setiap saksi atau korban dari serangan balik. Hal itu perlu dilakukan agar masyarakat tidak takut memberikan laporan atau kesaksian.

Berdasarkan pasal 10 ayat 1 UU 13 tahun 2006 disebutkan bah­wa saksi atau korban tidak dapat dituntut baik secara pidana atau­pun perdata atas kesak­si­annya. “Jika ternyata terduga pe­laku justru diutamakan, jangan harap ada partisipasi masyarakat da­lam pengungkapan suatu tin­dak pidana,” tandasnya.

LPSK, lanjutnya, sebagai lem­baga yang dimandatkan negara untuk perlindungan kepada saksi atau korban menyatakan siap mem­berikan perlindungan ke­pa­da DE.

Berdasarkan Undang-undang No­mor 13 tahun 2006 tentang Per­lindungan Saksi dan Korban, saksi ataupun korban harus me­ma­sukkan permohonan resmi per­lindungan LPSK untuk ditin­daklan­juti.

Lembagaini juga akan segera me­man­tau perkembangan terbaru dari kasus seksual anak tersebut. “Tentunya, semua harus lihat kon­disi pelecehan ini. Menurut pro­sedur, kami akan menunggu ka­bar dari Polda,” imbuhnya.

Sebelumnya, LPSK juga telah meminta polisi memprioritaskan laporan awal dari pihak orangtua. “Jika polisi langsung memproses laporan dari pihak guru bisa menjadi buruk bagi penegakan hukum di Indonesia,” pung­kas­nya.

KSPI Soroti Putusan Janggal Perkara Blue Bird Vs Pekerja

Diharuskan Bayar Rp 140 Miliar
Konferederasi Serikat Pe­kerja Indonesi (KSPI) menya­yangkan putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan yang menghukum bekas Direktur PT Blue Bird Taxi Min­tarsih Latief mengembalikan uang gaji dan THR  yang diterima se­lama 10 tahun sebesar Rp 40 miliar.

Putusan itu terkait perkara gu­gatan perbuatan melawan hukum PT Blue Bird Taxi terhadap Min­tarsih A Latief dan keluarga. Ha­kim yang diketuai Suprapto dalam putusannya juga me­wa­jibkan Mintarsih membayar ke­rugian immaterial kepada peng­gugat Rp 100 miliar. Total yang harus dikembalikan Mintarsih berjumlah Rp 140 miliar.

“Itu putusan aneh dan patut dipertanyakan. Masa gaji yang sudah dibayarkan diminta kem­bali,” ujar Presiden KSPI Said Iq­bal kepada wartawan di Ja­karta, ke­marin. Menurutnya, kebe­ra­nian hakim yang memutus per­kara seperti itu tidak bisa terulang pada tenaga kerja lain.

“Direktur perusahaan saja bisa diminta gajinya dikembalikan, apalagi office boy yang tidak pu­nya daya, itu patut diperta­nya­kan,” ucapnya. Selain putusan janggal dan aneh, menurut Said, juga perlu dipertanyakan me­ngapa perkara diterima di PN Ja­karta Selatan.

Sebab, perkara itu seharusnya diselesaikan di Peradilan Hu­bung­an Industrial (PHI) jika me­nyangkut perusahaan dengan pegawai atau karyawan.  Jika menyangkut perbuatan melawan hukum dan perbuatan tidak menyenangkan (pasal 310 dan 311 KUHP) masuk tindak pidana umum, bukan perkara perdata.

Apalagi, lanjut Said, pasal-pa­sal karet seperti pasal 310 dan 311 sudah dihapus Mahkamah Kon­sti­tusi (MK). “Aneh saja men­de­ngar ada putusan seperti itu. Ha­kim yang memutus perkara mung­kin melebihi kewenang­an­nya,” tutur Said.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Adami Cha­zawi kaget mendengar ada amar putusan agar gaji dan THR pegawai perusahaan dikem­ba­likan kepada penggugat dalam per­kara tersebut.

“Itu kekeliruan nyata dalam pertimbangan putusan jadi layak dikoreksi hakim Pengadilan Ting­gi dan MA. Itu putusan aneh,” ujar Adami. Menurut dia, pu­tusan majelis hakim agar gaji dan THR yang diterima tergugat selama bertahun-tahun bekerja di  perusahaan Blue Bird meru­pa­kan putusan yang tidak wajar. Apalagi yang menjadi dasar gugatan adalah perbuatan tidak menye­nangkan.

“Seharusnya dibuktikan lebih dulu perbuatan tidak menye­nang­kan yang dimaksud melalui pi­dana umum. Jadikan amar putus­annya sebagai bukti otentik pada gugatan perbuatan melawan hukum,” jelasnya.

Pekan lalu,  Majelis Hakim PN Ja­ksel mengabulkan se­bagian gu­gatan sebesar Rp 4,9 tri­liun yang dilayangkan bos PT Blue Bird Taxi Purnomo Prawiro terhadap Mintarsih A Latief dan keluarga.

Majelis hakim yang diketuai Suprapto menyatakan Mintarsih harus membayar Rp 140 miliar ke­pada Blue Bird. Rinciannya, se­besar Rp 40 miliar berupa pe­ngem­balian pembayaran gaji dan THR yang telah diterima ter­gugat, dan Rp 100 miliar berupa pem­bayaran kerugian immaterial yang dialami perusahaan ini.

Ajang Temu Tani Dijadikan Obyekan Perusahaan Asing

Maraknya perusahaan perta­ni­an asing yang menyerbu In­do­nesia dinilai akan mempersulit petani lokal. Pasalnya, petani In­do­nesia akan sulit mandiri dan mengalami ketergantungan pro­duk-produk penunjang pertanian, seperti benih, pupuk, dan pes­ti­sida, yang ditawarkan per­usa­ha­an tersebut.

Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih, men­ceritakan ajang Pekan Na­sional Petani Nelayan (PENAS) XIV yang berlangsung beberapa wak­tu lalu meninggalkan cerita miris akibat kehadiran per­usa­haan-perusahan pertanian asing.

“PENAS yang harapannya bisa menjadi ajang pertemuan bagi pe­tani nelayan untuk saling bertukar informasi, belajar, serta me­ing­katkan motivasi kepada generasi mu­da untuk cinta kepada bidang pertanian dan perikanan, malah men­jadi tempat para perusahan per­t­anian trannasional mencari ke­untungan, demi menumpuk pundi-pundi keuntungannya,” kat­anya dalam rilis yang diterima Rakyat Merdeka, kemarin.

Perusahaan-perusahaan itu, seb­utnya, memasarkan benih trans­genik, pestisida dan her­bi­sida secara masal dan meng­an­jur­kan para petani untuk memakai pro­duk yang mereka hasilkan. “Hal ini tentu saja sangat disa­yangkan, masyarakat petani ma­lah menjadi ajang cari keun­tungan atau obyekan bagi perusahaan pertanian transnasional,” keluhnya.

Henry menegaskan, SPI me­no­lak keras campur tangan per­usa­haan transnasional pertanian dalam sektor pertanian di Indo­ne­sia, karena akan meng­hi­lang­kan kedaulatan petani akan benih dan pupuk. “Secara halus, petani di­giring untuk akhirnya ter­gan­tung terhadap produk-produk mereka. Dari sisi produksi, hasil pa­nen yang menggunakan input-in­put kimia itu juga tidak se­ban­ding dengan biaya pembelian be­nih dan pestisida kimia. Pa­dahal pertanian agroekologis yang ramah lingkungan ter­bukti mampu meng­hasilkan hasil panen yang lebih tinggi,” paparnya.

Rentan Dieksploitasi, Konvensi PRT Migran Perlu Diratifikasi

Pemerintah diminta segera meratifikasi konvensi In­ter­national Labour Organization (ILO) No 189 soal Kerja Layak bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT).  Pasalnya, jutaan PRT hing­ga kini masih rentan ter­ha­dap eksploitasi ekonomi dan kekerasan.

“Sejak  Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak bagi PRT di­adopsi tiga tahun lalu, pe­me­rintah belum mau me­rati­fi­kasinya. Dalam rangka mem­pe­ringati hari PRT sedunia ke­marin, pemerintah perlu me­wu­judkan hal itu,” ujar Ketua Gu­gus Kerja Pekerja Migran Ko­misi Nasional (Komnas) Anti Kekerasan Terhadap Pe­rem­puan, Agustinus Supriyanto di Jakarta, kemarin.

Agus mengemukakan, hak atas kerja layak bagi warga ne­gara dijamin dalam Undang- Undang Dasar 1945 pasal 27. Sementara di dunia inter­na­sional, komitmen pemerintah  untuk pengakuan dan per­lin­dungan PRT untuk mendapat kerja layak telah disampaikan Pre­siden Susilo Bambang Yu­dho­yono dalam pidato di forum ILO di tahun 2011.

Hal itu sudah dicatat dan direkomendasikan PBB. “Jadi, kami menuntut  pemerintah mengkonkretkan komitmen tersebut,” katanya. Agus me­nam­bahkan, komite hak-hak eko­nomi, sosial dan budaya (Ek­osob) juga mere­ko­men­da­sikan pemerintah  meratifikasi­nya.

Selain itu, Ekosob terus men­dorong penyediaan mekanisme efektif untuk melaporkan tin­dakan kekerasan dan eksploitasi yang dialami PRT dan kondisi ker­janya.

“Terkait PRT migran, Komite Ekosob juga meminta  pers­oalan peran agen dan keren­tanan eksploitasi PRT oleh agen, biaya penempatan dan pe­ngawasan terhadap agen  men­­dapat perhatian. 

Komisioner Gugus Kerja Pekerja Migran Sri Nur­herwati me­nambahkan,  Kom­nas Pe­rem­puan meminta Pe­me­rintah dan DPR segera mela­ku­kan dua hal.

Pertama, mengim­ple­men­ta­sikan rekomendasi dari Komite Ekosob, khususnya terkait kon­disi PRT, baik di dalam dan luar negeri. Kedua, menjamin dan mem­fasilitasi hak PRT di dalam dan luar negeri untuk berserikat agar posisi tawar PRT semakin kuat untuk berunding dengan ma­jikan, agen dan pihak lain­nya.

KHN Sentil Jaminan Hukum Di Peradilan

Anggota Komisi Hukum Na­sional (KHN) Frans Hendra Wi­narta mengemukakan ke­pas­tian hukum di bidang investasi hingga kini masih carut-marut.  Bila regulasi di bidang investasi jelas dan putusan pengadilan konsisten, iklim usaha bakal  kondusif.

Ia meminta pemerintahan baru nanti perlu memperbaiki re­gulasi di bidang investasi. “Ke­pastian hukum berpengaruh ter­hadap pembangunan eko­no­mi nasional,” timpalnya.

 Menurut dia, putusan pengadilan itu ha­rus bersifat prediktabel, kon­sis­ten dan tidak diskriminatif.

Tak ada jalan lain, katanya, pe­ngadilan harus menunjukkan ke­jujuran, kompeten, in­de­pen­den dan imparsial. Secara khu­sus, ia menyoroti maraknya prak­tik korupsi yudisial.

Secara nyata, bentuk du­kung­an hukum ini akan terwujud bila bi­rokrasi yang bertele-tele di­pang­kas, perijinan dipermudah dan disederhanakan. Sektor in­ves­tasi asing harus bermanfaat bagi kepentingan nasional dan tidak berseberangan dengan kepentingan nasional.

“High cost economy, praktik ko­rupsi dan ketidakpastian hu­kum harus diatasi kalau mau menang dalam bersaing di ka­wasan Asia dan ASEAN khu­susnya,” katanya.

Pemasalahan hukum lainnya yang perlu pula mendapatkan perhatian adalah penguatan kelembagaan penegak hukum dan kekuasaan kehakiman.

Ada dua faktor yang harus men­dapatkan perhatian agar hu­kum berlaku bagi setiap orang dan tidak diskriminatif. Per­ta­ma, persamaan hukum harus ber­laku bagi semua pihak dan ke­dua, tidak ada priviledge (ke­istimewaan). Oleh ka­rena itu, keteladanan pemim­pin sangat diperlukan.

Dunia usaha, khususnya in­vestor asing tengah mem­per­ha­tikan beberapa kasus lain seng­keta hukum Churchill Mining yang kini perkaranya ditangani di Arbitrase Internasional dan per­kara Weatherford Indonesia (WI) melawan Superior Coach. ***

Populer

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

UPDATE

Menhut Kebagian 688 Ribu Hektare Kawasan Hutan untuk Dipulihkan

Rabu, 24 Desember 2025 | 20:14

Jet Militer Libya Jatuh di Turki, Kepala Staf Angkatan Bersenjata Tewas

Rabu, 24 Desember 2025 | 20:05

Profil Mayjen Primadi Saiful Sulun, Panglima Divif 2 Kostrad

Rabu, 24 Desember 2025 | 19:46

Nutrisi Cegah Anemia Remaja, Gizigrow Komitmen Perkuat Edukasi

Rabu, 24 Desember 2025 | 19:41

Banser dan Regu Pramuka Ikut Amankan Malam Natal di Katedral

Rabu, 24 Desember 2025 | 19:33

Prabowo: Uang Sitaan Rp6,6 Triliun Bisa Dipakai Bangun 100 Ribu Huntap Korban Bencana

Rabu, 24 Desember 2025 | 19:11

Satgas PKH Tagih Denda Rp2,34 Triliun dari 20 Perusahaan Sawit dan 1 Tambang

Rabu, 24 Desember 2025 | 18:43

Daftar 13 Stafsus KSAD Usai Mutasi TNI Terbaru

Rabu, 24 Desember 2025 | 18:36

Prabowo Apresiasi Kinerja Satgas PKH dan Kejaksaan Amankan Aset Negara

Rabu, 24 Desember 2025 | 18:35

Jelang Malam Natal, Ruas Jalan Depan Katedral Padat

Rabu, 24 Desember 2025 | 18:34

Selengkapnya