PEMILIHAN Presiden (Pilpres) 2014 tinggal hitungan hari. Debat calon presiden (capres) yang diselenggarakan Minggu (5/6) malam menjadi perhatian besar publik pemilih di tengah hingar-bingar Piala Dunia Sepakbola di Brazil yang menyuguhkan beberapa kejutan: kalahnya dua tim favorit Inggris dan Spanyol yang notabene mempunyai liga sepakbola profesional terbaik di dunia.
Dalam tiga pekan ke depan, Indonesia akan dihadapkan kepada pertarungan big match pilpres Prabowo Subianto melawan Joko Widodo, di saat yang bersamaan Piala Dunia akan menyelesaikan fase penyisihan grup menuju 16 besar, perempat dan semifinal. Siapapun pemenang Pilpres, siapapun pemenang Piala Dunia, pasti adalah yang mampu menjaga konsistensi penampilan sejak awal hingga akhir kompetisi.
Skema tim boleh berubah, strategi pertandingan bisa berganti, tapi gaya permainan harus tetap konsisten. Karena gaya permainan adalah identitas, nilai dan karakter sebuah bangsa, baik capres maupun kesebalasan sepakbola, harus menampilkan konsistensi permainan, tidak boleh ‘angin-anginan’ atau labil fisik dan mental. Karena gaya bukan sebatas penampilan, tapi adalah citra, kesan mendalam dalam benak masyarakat tentang sosok individu maupun lembaga.
Jika kita bicara gaya permainan Brazil, maka publik akan langsung teringat Samba, karena permainan Brazil indah seperti tari Samba. Jika bicara Belanda jawabnya adalah Total Football, karena kolektivitas para pemainnya. Sementara bicara Spanyol adalah Tiki Taka, permainan penguasaan bola yang membuat lawan frustasi kelelahan, layaknya matador menjinakkan banteng.
Tatkala kita bicara gaya Prabowo, citranya adalah gagah perwira dan tegas ksatria, citra ini terbentuk karena rekam jejak Prabowo yang terlibat dalam berbagai operasi militer saat masih berdinas di TNI seperti Perang Seroja di Timor Timur dan Operasi Mapenduma di Irian Jaya atau belum lama ini kegigihannya membebaskan TKI Wilfrida Soik di Malaysia dari hukuman mati. Apabila kita bicara Jokowi, imejnya adalah merakyat dan sederhana, imej ini terbentuk karena rejam jejak Jokowi sejak menjadi walikota Solo dan gubernur DKI Jakarta yang menampilkan kesederhanaan penampilan serta kegemaran kegiatan ‘blusukan’ di pasar.
Sebagaimana pernah disinggung dalam tulisan sebelumnya, "Pilpres 2014, Adu Cerdik Propaganda-Agitasi & Positioning" (29/5/2014), citra politik sangat ditentukan oleh
positioning, yaitu strategi untuk menciptakan perbedaan, manfaat dan keuntungan yang membuat konsumen selalu ingat dengan suatu produk (Fanggidae, 2006).
Konsumen menginginkan nilai tambah dari produk yang dibelinya, pemilihpun mengharapkan perubahan keadaan dari capres yang dipilih dengan melihat karakter capres yang bersangkutan. Karakter capres yang terbentuk dalam persepsi publik itu adalah hasil olah strategi
positioning melalui suplai informasi yang konsisten dan berulang-ulang.
InkonsistensiDalam sepakbola, sebuah tim yang tidak mampu menjaga konsistensi selama pertandingan ataupun selama jalannya kompetisi, maka tim tersebut tidak akan bisa menjadi juara. Konsistensi adalah kunci prestasi, hal yang membentuk konsistensi adalah konsentrasi dan vitalitas mental serta fisik. Sementara inkonsistensi adalah petaka, tim yang berada di atas angin, merasa yakin menang sehingga menganggap remeh lawan akan kehilangan konsistensinya, sebuah serangan balik lawan bakal berujung kepada kekalahan.
Sementara dalam debat capres, di luar konsep gagasan yang dipaparkan, jika diperhatikan ada pengulangan inkonsistensi pada penampilan Jokowi seperti yang juga terjadi pada debat pertama. Yang paling sederhana adalah pakaian jas hitam dan dasi merah yang dikenakannya. Jas adalah simbol kemapanan, dasi adalah simbol kemewahan, dengan memakai jas sekilas Jokowi tampak lebih gagah, tapi fatal persepsi Jokowi sosok yang sederhana justru tertutupi. Adapun Prabowo konsisten dengan kemeja safari revolusi berkantung empat dengan pin Garuda merah di dadanya.
Dari sisi mimik dan gesture, Jokowi tampak terlalu serius sehingga terbangun persepsi tegang, padahal debat capres adalah show besar yang harus diposisikan sebagai panggung konser akbar, bukan podium seminar. Berulang kali-tanpa disadari- Jokowi menurunkan sungging bibirnya saat mendengar paparan Prabowo, dia jarang melempar senyum yang sebenarnya itu membangun imej kuat dirinya sebagai sosok ramah. Sementara sebaliknya, Prabowo tampak mengangguk-angguk sembari tersenyum simpul mendengar paparan Jokowi, bahkan di tengah perdebatan dia tak sungkan mendatangi Jokowi untuk memberi salam hangat sehingga membangun persepsi bahwa Prabowo punya kebesaran hati mengakui kemampuan orang lain.
Dengan sisa waktu kampenya yang ada, kedua capres harus memanfaatkan sebaik mungkin untuk memperkuat positioningnya. Prabowo tak perlu mendadak blusukan, Jokowi pun tak perlu mendadak ksatria ‘gagah-gagahan’. Citra yang sudah melekat kuat, persepsi yang sudah terbangun kokoh jangan dirobohkan oleh kesalahan-kesalahan kecil seperti pakaian hingga dan gerak tubuh. Adapun soal substansi gagasan, sesungguh tidak akan terlalu signifikan mempengaruhi pemilih mengambang yang belum menentukan pilihan.
Perilaku PemilihDalam buku "Marketing Politik-Antara Pemahanan dan Realitas", Firmanzah mengatakan pentingnya peranan emosi dan perasaan dalam menentukan pilihan masyarakat, tidak semua masyarakat memiliki kapasitas untuk berpikir dan menganalisis apa yang mereka butuhkan dan bagaimana memenuhinya. Dalam masyarakat seperti ini, imej politik yang berkembang adalah dimensi mitos, simbol, stereotipe, sentimen dan kisah kepahlawanan (Firmanzah, 2008).
Artinya, gagasan-gagasan, pemikiran serta konsep Prabowo dan Jokowi selaku capres bagi sebagian masyarakat tidak akan terlalu mempengaruhi pilihan politik, publik akan terpengaruh oleh performa yang disajikan dalam debat, bercampur dengan simbol tertentu yang melekat, serta heroisme kisah kepahlawan yang beredar di masyarakat. Dalam semua peradaban manusia, pahlawan adalah sosok yang selalu dirindukan kehadirannya, dibutuhkan eksistensinya, dan dinantikan kesaktiannya untuk memberi pesan bahwa harapan itu masih ada. Romantika revolusi tak pernah berakhir, mimpi tak akan mati, terlebih bagi sebagian rakyat yang berada dalam kejenuhan akan keadaan.
Perilaku pemilih harus dipahami sepenuhnya oleh Prabowo dan Jokowi, karena Pipres bukan mencari presiden yang paling pintar atau paling sering blusukan, melainkan presiden yang mampu menyelesaikan persoalan. Maka dengan demikian, menempatkan diri sebagai sosok yang bisa memberikan solusi akan mendapatkan tempat di hati pemilih sehingga berpeluang besar mendapat dukungan masyarakat.
Saat ini pemilih sudah dijejali berbagai informasi tentang Prabowo dan Jokowi secara massif bahkan mungkin overload, dengan informasi yang melimpah itu maka tidak mudah bagi masyarakat untuk memilah-milah. Pada akhirnya perilaku pemilih tidak selalu mengedepankan rasionalitas dalam menentukan pilihan, melainkan menyandarkan kepada perasaan serta sejauh mana kesanggupan dirinya menyerap informasi tentang Prabowo dan Jokowi, karena suguhan performa capres yang berubah-ubah akan menambah kebingungan mereka.
Dalam konstelasi yang masih berimbang, maka sepekan menjelang pemilihan pada 9 Juli merupakan masa genting bagi kelas menengah yang belum menentukan pilihan, siapa capres yang kehilangan konsistensinya maka dia tidak akan dipilih oleh pemilih mengambang, dan sebaliknya, capres yang konsisten menjaga positioningnya akan menjadi pemenang. Ibarat tim sepakbola, pemenang bukanlah tim yang memimpin selama 2x45 menit, melainkan yang tetap memimpin hingga wasit meniup peluit.
[***] M.A. HailukiPemerhati Politik, Ketua Bidang Ikatan Alumni Ilmu Politik IISIP Jakarta.