Potensi konflik dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 di Indonesia akan menganga jika syarat-syarat kunci pemilu demokratik tidak terwujud.
Institusi penyelenggara pilpres 2014 yang pada masa pemilu legislatif tidak memperlihatkan kompetensi dalam kinerja, bahkan tidak sedikit kalangan politik yang menilai tidak independen, akan menjadi salah satu sumber konflik.
Dalam siaran persnya, Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia, menyebut tujuh akar atau sumber konflik Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 yang harus diantisipasi.
Pertama, kampanye negatif atau kampanye hitam terhadap para pesaing politik pada masa kampanye yang dilakukan melalui pertemuan tatap muka, pertemuan terbatas, kampanye media, melalui media sosial, maupun ungkapan-ungkapan pada alat peraga kampanye.
"Reaksi dalam bentuk keberangan politik potensial terjadi sebagai bentuk 'kontra black campaign', akan lebih parah bila jajaran pengawas pemilu dan penegak hukum tidak secara tegas, konsisten dan adil menegakkan pasal-pasal larangan kampanye," kata Wakil Sekjen KIPP Indonesia, Girindra Sandino, dalam keterangan tertulis (Selasa, 10/6).
Kedua, potensi konflik antar massa pendukung kedua kubu capres dan cawapres pada saat kampanye rapat umum, mengingat situasi kompetisi yang memanas. Peluang konflik lebih terbuka apabila para pelaksana kampanye menggunakan materi kampanye negatif dan pengamanan tidak memadai.
Ketiga, jika terjadi kegagalan pengadaan dan distribusi logistik pemungutan suara di lokasi-lokasi yang ditentukan pada waktu pemungutan suara, tinta, bilik pemungutan suara, segel, alat untuk untuk mencoblos, dan tempat pemungutan suara.
Keempat, sumber konflik lainnya adalah fakta saluran hukum (pidana) yang tersumbat, terkait perilaku kelembagaan (institutional behavior) Polri yang lebih banyak menolak penanganan lebih lanjut kasus-kasus pidana strategis. Apabila kanalisasi konflik melalui jalur hukum terhambat, maka potensi konflik aktual di jalur politik akan terbuka.
Kelima, akar konflik yang berkaitan dengan ketidakseimbangan penguasaan sumberdaya negara pada masing-masing kubu capres dan cawapres, yang diperparah apabila birokrasi memperlihatkan perilaku politik tidak netral.
Keenam, keterlambatan atau kurang efektifnya sosialisasi regulasi teknnis dari KPU RI, pelaksanaan tatacara penghitungan suara yang tidak memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan dalam UU Pilpres, kesalahan administratif atau indikasi "kecurangan politik" dalam rekapitulasi penghitungan perolehan.
Ketujuh, kemungkinan kekecewaan politik atas hasil-hasil Pilpres, apalagi jika political trust terhadap para aktor politik dominan dan institusi penyelenggara Pilpres sudah sedemikian rendah.
[ald]