Berita

ilustrasi

Aktivis Miris Bekas Presiden Dapat Pensiun Rp 30 Juta/Bulan

Kebutuhannya Selama Menjabat Sudah Ditanggung Negara
RABU, 28 MEI 2014 | 09:56 WIB | HARIAN RAKYAT MERDEKA

Masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Boediono tinggal menghitung bulan. Setelah memasuki masa pensiun, keduanya akan mendapat uang pensiun sebesar Rp 30 juta per bulan untuk presiden dan Rp 22 juta untuk posisi wapres.

Besarnya uang pensiun tersebut, dikritik Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Fitra). Fitra menilai, uang pensiun tersebut harus disampaikan kepada publik. Pasalnya, gaji tersebut menggunakan uang yang berasal dari pajak yang dibayarkan rakyat.

“Wah besar sekali uang pensiunnya. Ini betul-betul miris melihat masih banyak rakyat miskin di Indonesia,” kata Koordinator Advokasi dan Investigasi Fitra, Uchok Sky Khadafi saat dihubungi Rakyat Merdeka, kemarin.


Menurut Uchok, idealnya presiden dan wapres tidak mendapatkan uang pensiun. Sebab, presiden adalah jabatan politik, seperti DPR. Apalagi, pendapatan presiden dan DPR semasa menjabat sudah sangat besar.

“Sementara kebutuhannya selama menjabat sebagian besar sudah ditanggung negara. Jadi, mestinya tidak perlu ada lagi uang pensiun,” kritiknya.

Uchok menilai, uang pensiun bagi pejabat politik hanya akan menimbulkan kecemburuan sosial. Pemberian uang pensiun untuk jabatan politik hanya membuat kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin makin tinggi.

Terutama kecemburuan bagi para Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang uang pensiunnya tidak seberapa, meski mereka sudah mengabdi puluhan tahun.

“Kesenjangan ini menjadi salah satu pendorong bagi PNS untuk berpolitik.
Karena jabatan politik gajinya lebih besar, kebutuhan selama menjabat banyak dibiayai negara, waktu mengabdinnya sebentar, eh kebutuhan pensiunya juga sangat terjamin. Enak sekali,” sindirnya.

Kepala Divisi Jaringan Fitra, Hadi Prayitno meminta agar kebijakan uang pensiun tersebut ditinjau ulang. Sebab, sebagai bekas kepala negara, bekas presiden akan mendapatkan berbagai macam fasilitas hidup.
 
“Fasilitas tersebut seperti tunjangan pensiun yang berlaku bagi pegawai negeri, biaya rumah tangga yang berkenaan dengan pemakaian air, listrik dan telepon. Kemudian seluruh biaya perawatan kesehatannya maupun keluarganya, sebuah rumah kediaman yang layak dengan perlengkapannya, dan sebuah kendaraan milik negara dengan pengemudinya,” papar Hadi.

Hadi mengatakan, pemberian uang pensiun terhadap jabatan politik hanya akan membebani keuangan negara. Sebab, fasilitas yang diberikan seharusnya sudah sangat mencukupi. Apalagi biasanya pejabat politik memiliki perusahaan pribadi atau keluarga.

“Saya bukannya tidak menghormati pengabdian seorang presiden. Masalahnya, fasilitas yang diterima ketika menjabat dan pensiun sudah sangat mewah.

Ditambah dengan adanya perusahaan pibadi atau keluarga. Tanpa uang pensiun seharusnya tidak ada masalah, dia bisa tetap hidup mewah,” tuturnya.

Sebelumnnya, Kepala Divisi Layanan PT Taspen (Persero) Tobing Halomoan mengungkapkan, bekas presiden dan wapres akan menerima hak pensiun yang dibayarkan perseroan setiap bulan. “Bekas presiden akan menerima uang pensiun pokok sebesar Rp 30 juta per bulan. Sedangkan mantan Wapres di bawah sedikit sekitar Rp 22 juta per bulan. Tapi itu bukan angka mutlak,” kata Tobing.

Jika dilihat, besaran hak pensiun eks Presiden dan Wapres ini sesuai dengan yang tertera di Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 1978 tentang Hak Keuangan/Administratif Presiden dan Wapres serta bekas Presiden dan Wapres.

Dalam aturan itu disebutkan, bekas Presiden dan Wapres berhak atas uang pensiun sebesar 100 persen dari gaji pokok terakhir. Selain itu, bekas Presiden dan Wapres juga akan mendapat hak lain. Hak-hak ini diatur dalam pasal 7 UU tersebut.

Komnas HAM: Sikap Presiden Diragukan

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai, sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam menyelesaikan persoalan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia masih lemah. Terutama, terkait kasus hilangnya 13 aktivis dalam kerusuhan Mei 1998.

Komisioner Komnas HAM Roichatul Aswidah mengatakan, Komnas HAM telah bertemu dengan Ketua DPR Marzuki Ali dan Ketua MPR Sidharto Danusubroto untuk membahas persoalan ini beberapa waktu lalu. Dari hasil pertemuan, DPR mengusulkan agar segera dibentuk tim untuk mencari para aktivis yang hilang tersebut.

Selain itu, kata Roichatul, DPR juga telah memberikan rekomendasi kepada presiden untuk segera membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc yang menangani persoalan ini. Namun, hingga saat ini, presiden tak kunjung melaksanakan rekomendasi yang diberikan DPR tersebut.

“Dalam pertemuan sebelumnya sudah ada rekomendasi. Artinya, ada titik komitmen politik untuk penyelesaian ikasus tu. Yang belum ada adalah sikap presiden untuk menyelesaikan masalah itu,” katanya.

Roichatul bilang, perlu ada niat politik dan niat sosial dalam menyelesaikan persoalan HAM yang terjadi di Indonesia. Niat itu harus berjalan secara beriringan antara Komnas HAM, DPR, Kejaksaan dan pemerintah. “Jika ada salah satu pihak yang tak memiliki niat untuk menyelesaikan, maka persoalan HAM selamanya tidak akan dapat diselesaikan,” ingat Roichatul.

Menpan-RB Janji Tak Akan Loloskan Honorer Bodong
Agar Tak Dimanipulasi Oknum, Pemerintah Didesak Segera Kunci Database

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB), didesak segera membuat aturan yang dijadikan acuan bagi Pemerintah Provinsi terkait verifikasi dan validasi (verval) para peserta tes calon pegawai negeri sipil (CPNS) dari honorer Katagori Dua (K-2). Pasalnya, masih banyak honorer bodong yang lulus tes.

Ketua Forum Honorer K2 Indonesia (FHK2I) Titi Purwaningsih menyatakan, hingga saat ini jumlah honorer K2 yang dinyatakan lulus dan mengundurkan diri belum mencapai 30 persen. Padahal, dari berbagai laporan pengaduan yang masuk, baik dari honorer, Indonesia Corupption Watch (ICW) dan LSM, sekitar 30-35 persen honorer terindikasi bodong.

“Setiap daerah punya honorer bodong. Cuma, ada yang dengan gentle mau ngaku, ada yang tetap tidak mau mundur. Makanya, dibutuhkan aturan main yang jelas untuk mencegah itu,” ujar Titi dalam keterangan pers yang diterima Rakyat Merdeka, kemarin.

Titi mengatakan, proses verval ini sangat penting untuk memilah mana honorer K-2 asli dan mana yang bodong. Untuk yang sudah dipastikan asli, bisa langsung diangkat menjadi CPNS, meski dinyatakan tidak lulus tes. Ini sesuai dengan janji MenPAN-RB Azwar Abubakar dan SesmenPAN-RB Tasdik Kinanto.

“Pemerintah pusat harus segera membuat dan menurunkan aturan tertulis dan tegas kepada Pemerintah Daerah terkait pendataan dan verval honorer K2 yang ikut tes tanggal 3 november 2013. FHI meminta pada MenPAN-RB untuk menerbitkan Surat Edaran yang mengatur tentang hal ini,” jelasnya.

Titi bilang, pihaknya sudah mengumpulkan berbagai bukti untuk menguatkan keilegalan honorer bersangkutan. Tujuannya agar para honorer yang betul, bisa mendapatkan haknya.

“Kami dari Aceh sampai Sulawesi sudah mengumpulkan bukti. Kami lah yang paling layak diangkat dibandingkan honorer bodong yang dinyatakan lulus,” tegasnya.

Ketua Dewan Pembina FHI Pusat, Hasbi mendesak pemerintah segera mengunci data honorer K2 di dalam database nasional. Langkah itu harus diambil guna mencegah masuknya honorer dadakan yang disisipkan oleh oknum-oknum yang akan memanfaatkan keadaan.

“Untuk itu, data yang sekarang perlu dikunci, agar tidak dimanipulasi oleh pihak-pihak atau oknum  yang tidak bertanggung jawab,” ingatnya.

Hasbi berharap, pemerintah segera menyelesaikan permasalahan tenaga honorer, sebelum Pemerintahan SBY berakhir agar tidak menimbulkan kerancuan, dan mengambangnya penyelesaian tenaga honorer jika Presiden dan DPR/DPRD telah berganti. “Termasuk penyelesaian tenaga honorer non kategori,” ungkapnya.

Menanggapi hal itu, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) Azwar Abubakar menegaskan, pihaknya tidak akan gegabah meloloskan honorer bodong menjadi CPNS. Meskipun sang honorer bodongnya tidak mengundurkan diri, pemerintah (BKN) akan tetap memverifikasi data-datanya.

“Yang mengundurkan diri kemungkinan besar memang bodong. Tapi yang tidak mengundurkan diri belum tentu asli, bisa saja mereka itu bodong juga. Jadi masyarakat jangan khawatir, yang bodong-bodong pasti tidak akan kita biarkan menjadi PNS,” tandasnya.

Pemerintah Tak Serius Perhatikan Kaum Petani
Kelangkaan Pupuk Masih Terjadi

Hampir di setiap musim tanam, petani Indonesia dihadapkan pada masalah kelangkaan pupuk. Padahal, pemerintah telah memberikan subsidi pupuk sebagai bentuk perlindungan bagi petani.

Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menduga, telah terjadi penyelewengan terhadap subsidi pupuk yang diperuntukkan bagi kaum tani. Dia usul, perlu dilakukan kontrol dan audit yang lebih mendalam tentang kelangkaan pupuk yang terjadi saat ini.

“Oleh karena itu, SPI mendesak pemerintah untuk memperbaiki pengawasan dalam pendistribusian pupuk bersubsidi, menindak tegas pihak-pihak yang terbukti mempermainkan harga pupuk bersubsidi pada saat musim tanam,” kata Henry kepada Rakyat Merdeka di Jakarta, kemarin.

Selain itu, SPI juga mendesak pemerintah menjalankan program Go-Organic yang bertumpu pada peningkatan kemampuan petani dalam memproduksi pupuk organik sendiri. “Sehingga ketergantungan terhadap pupuk kimia dapat perlahan-lahan berkurang,” kata Henry.

Untuk mendukung program ini, dia mengusulkan agar pemerintah melakukan subsidi pupuk berupa paket-paket pelatihan, serta meningkatkan dan mendukung produksi pupuk organik yang dikelola oleh koperasi, kelompok tani dan organisasi tani.

Berdasarkan pantauan Dewan Pengurus Pusat (DPP) SPI di beberapa daerah seperti di Ponorogo, Jawa Timur, lanjut Henry, harga pupuk bersubsidi non organik mencapai Rp 150.000-170.000 per 50 kg.

Anggota SPI di Ponorogo, Maryadi, menuturkan, pupuk subsidi lebih banyak dijual di kios-kios bisnis milik distributor pupuk daripada kios-kios kelompok tani. “Kelangkaan dan penyimpangan ini sudah dilaporkan kepada Dinas Pertanian Ponorogo. Namun sampai saat ini belum ada langkah penyelesaian,” keluh Maryadi.

 Sedangkan anggota SPI di Pati, Jawa Tengah, melaporkan bahwa harga pupuk (non-organik (SPI-36, ZA dan NPK) naik sekitar 50 ribu dari harga eceran tertinggi (HET). Padahal, HET untuk urea adalah Rp 1.800 per kg, SP-36 Rp 2.000 per kg, pupuk ZA Rp 1.400 per kg, pupuk NPK Rp 2300 per kg, dan pupuk organik Rp 500 per kg.

Sementara di Lampung, SPI menemukan pupuk bersubsidi yang seharusnya untuk kelompok tani di satu desa, ternyata dijual di desa yang lain.

Sengketa Perbatasan Butuh Pemimpin Tegas


Belum tuntasnya sejumlah sengketa perbatasan antar negara, akan terus menjadi pekerjaan rumah (PR) pemerintah. Sikap tegas pemerintah dinilai paling tepat untuk mengatasi agar permasalahan serupa tidak dibiarkan berlarut-larut.

Direktur Eksekutif Nurjaman Center for Indonesian Democracy (NCID), Jajat Nurjaman menilai, kerap terulangnya sengketa perbatasan negara antara Indonesia dan Malaysia, menunjukkan Indonesia membutuhkan pemimpin kuat serta berani mengambil keputusan secara tepat dan cepat.

“Permasalahan negara adalah problem yang sangat kompleks. Presiden bukan hanya mengurus permasalahan sosial, ekonomi, dan budaya. Tapi juga harus mampu menjadi panglima tertinggi pasukan militer seperti menjaga wilayah perbatasan negara,” katanya di Jakarta, kemarin.

Menurut Jajat, Indonesia tidak bisa terus menerus menyalahkan negara lain jika terjadi pencaplokan wilayah. Sesekali Indonesia juga harus berani menginstrospeksi diri karena telah gagal menjaga keutuhan wilayah sendiri.

“Masa depan dan kehormatan negara juga akan ditentukan oleh siapa yang akan menjadi pemimpin. Memimpin negara dengan jumlah penduduk yang begitu banyak serta wilayah yang sangat luas tidak mudah. Indonesia memerlukan pemimpin kuat dan berani agar kita tidak lemah di depan bangsa asing,” tandasnya.

Sebelumnya, Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah meminta Kementerian Luar Negeri mengirimkan nota protes ke Malaysia terkait dengan pembangunan mercusuar oleh Malaysia di kawasan Tanjung Datuk, Kalimantan Barat. Kawasan tersebut terletak di antara Kalimantan Barat dan wilayah Malaysia hingga kini masih merupakan wilayah abu-abu, karena belum ada kesepakatan dua negara tentang kepemilikan daerah itu.

Presiden SBYmenjelaskan, Indonesia sudah melayangkan undangan untuk membahas masalah ini dan Malaysia memberi respons yang positif. Presiden berharap, kedua negara bisa menyeselesaikan persoalan ini dengan baik.

“Jika pembangunan mercusuar diperlukan untuk kepentingan navigasi, hal itu bisa dilakukan bersama dan tidak perlu ada identitas negara,” kata SBY sebagaimana dikutip dari situs presidenri.go.id.

Presiden juga menyatakan, Indonesia sangat terbuka untuk menyelesaikan setiap sengketa perbatasan secara damai, menggunakan saluran politik dan demokrasi, sesuai dengan hukum internasional.

“Niat baik Indonesia jangan disia-siakan. Contohnya Indonesia dan Filipina bisa selesai,” kata SBY. ***

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

KPK Usut Pemberian Rp3 Miliar dari Satori ke Rajiv Nasdem

Selasa, 30 Desember 2025 | 16:08

Rasio Polisi dan Masyarakat Tahun 2025 1:606

Selasa, 30 Desember 2025 | 16:02

Tilang Elektronik Efektif Tekan Pelanggaran dan Pungli Sepanjang 2025

Selasa, 30 Desember 2025 | 15:58

Pimpinan DPR Bakal Bergantian Ngantor di Aceh Kawal Pemulihan

Selasa, 30 Desember 2025 | 15:47

Menag dan Menko PMK Soroti Peran Strategis Pendidikan Islam

Selasa, 30 Desember 2025 | 15:45

Jubir KPK: Tambang Dikelola Swasta Tak Masuk Lingkup Keuangan Negara

Selasa, 30 Desember 2025 | 15:37

Posko Kesehatan BNI Hadir Mendukung Pemulihan Warga Terdampak Banjir Bandang Aceh

Selasa, 30 Desember 2025 | 15:32

Berikut Kesimpulan Rakor Pemulihan Pascabencana DPR dan Pemerintah

Selasa, 30 Desember 2025 | 15:27

SP3 Korupsi IUP Nikel di Konawe Utara Diterbitkan di Era Nawawi Pomolango

Selasa, 30 Desember 2025 | 15:10

Trump ancam Hamas dan Iran usai Bertemu Netanyahu

Selasa, 30 Desember 2025 | 15:04

Selengkapnya