Ada bahasa baru pengganti istilah "koalisi". Adalah "kerjasama politik", yang dipopulerkan bakal calon presiden asal PDI Perjuangan, Joko Widodo.
Apa bedanya? Jokowi seolah haram mengucap koalisi. Beberapa kali diwawancara wartawan, mantan Walikota Surakarta itu menjelaskan, istilah koalisi terlalu bau "dagang sapi", bagi-bagi kursi, atau tawar menawar posisi calon wakil presiden. Sedangkan kerjasama politik lebih diwarnai niatan tulus gotong royong menggolkan target.
Sebagai bakal capres yang ditunjuk Megawati Soekarnoputri, Jokowi optimis mampu membangun koalisi dengan partai-partai politik lain tanpa perlu kasak-kusuk bicara potongan kue kekuasaan.
"Karena kemurnian kerja sama antar partai, kita tidak pernah bicara menteri dan cawapresnya siapa," tutur Jokowi di sela-sela acara Deklarasi Koalisi Tiga Partai di kantor DPP PDIP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, kemarin (14/5).
Ada perbedaan dalam menanggapi sikap Jokowi itu. Penyikapan pertama penuh kegeraman. Misalnya, Wakil Sekjen DPP Partai Keadilan Sejahtera, Fahri Hamzah. Dia menuding Jokowi tidak mengerti sistem politik yang berlaku di Indonesia. Fahri yakin, PDIP dan Jokowi akan sulit menyolidkan roda pemerintahan jika nantinya mendapat kesempatan berkuasa dengan sikap politik yang kaku.
Atau, coba baca tanggapan dari jurubicara Partai Demokrat, Ruhut Sitompul. Dengan nada meledek Ruhut menyebut Jokowi dan PDIP "angkuh minta ampun". Di mata Ruhut, koalisi adalah bagi-bagi kekuasaan. Sikap yang kaku adalah bentuk kesombongan dan PDIP pasti akan ditinggalkan.
Sedangkan akademisi menyikapinya normatif. Margarito Kamis, pakar tata negara asal Ternate, menjelaskan bahwa walau tidak diatur spesifik oleh konstitusi, koalisi atau penggabungan partai-partai politik mesti bicara "bagi-bagi kursi". Dijelaskannya, maksud bagi-bagi kursi menteri itu adalah cara mengelola pemerintahan secara gotong royong. Jadi, kata dia lagi, walau pernyataan Jokowi itu patut diapresiasi karena berani, namun menolak pembagian kursi sama saja membelakangi kenyataan.
Ada kelompok lain yang menanggapi pernyataan Jokowi lebih jernih, cerdik memahami keadaan. Bagi mereka, wajar Jokowi di depan publik menegaskan tidak ada bagi-bagi kursi. Menurut mereka, pernyataan itu bagian dari pencitraan diri Jokowi menjaga imej politik non-transaksional yang dianutnya.
Mereka pun yakin, apa yang dikatakan Jokowi itu adalah sinyal bahwa gubernur ibukota RI itu tak memiliki wewenang dalam soal pembagian kekuasaan dalam sistem multi partai ini. Kalau begitu siapa yang berkuasa? Semua orang baik di PDIP maupun luar PDIP, mengerti betul karakter banteng hitam. Bahwa hanya sabda dari Megawati Soekarnoputri yang berkuasa menggerakkan arah dan kebijakan politik partai.
Hal itu pula yang selalu ingin Mega tunjukkan kepada khalayak di luar partainya. Mega pintar menjaga sikapnya, menunjukkan wibawanya dan membuktikan bahwa hanya dia yang punya otoritas tertinggi di partai. Hal itu pula yang ditegaskannya kemarin di depan para petinggi tiga partai koalisi Pilpres 2014 di DPP PDIP, Lenteng Agung.
Orang-orang yang memahami itu tak kaget lagi ketika Jokowi dengan percaya diri mengatakan tidak ada "bagi-bagi kursi" yang akan dibahasnya dalam komunikasi politik sebagai bakal capres PDIP. Kalau mau bicara itu ya bukan dengan Jokowi lah, tapi dengan Mega! Cak Imin dan Bang Surya paham betul itu.
[ald]