PT Pertamina Gas, anak perusahaan Pertamina tidak seharusnya diakuisisi oleh PT Perusahaan Gas Negara Tbk karena sama juga dengan menyerahkannya pada asing.
Demikian pendapat Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria dalam keterangan tertulisnya yang dirilis hari ini (Minggu, 11/5). Hal ini diutarakan Sofyano menanggapi rencana Menteri BUMN Dahlan Iskan untuk menggabungkan PT Pertagas ke dalam PT PGN Tbk.
"Ini bukan soal pindah koordinasi, tapi ada unsur privatisasi diam-diam karena PGN adalah perusahaan terbuka yangg sahamnya juga dimiliki asing sehingga berbahaya bagi masa depan energi gas dan ini bisa menuai protes publik," tegasnya.
Sofyano menjelaskan, untuk sebuah BUMN yang akan dilebur, berbeda kondisinya bila diprivatisasi seperti hal ini. Peleburan BUMN untuk mempersingkat birokrasi, menurunkan biaya, overhead atau sinergi pasar itu bisa, tetapi berbeda dalam konteks PGN atau Pertagas karena keduanya tidak bisa disatukan juga beda format.
"Yang satu belum perusahaan Tbk dan masih ada tugas pengembangan gas kota (yang merupakan proyek pioneer dan belum tentu untung), sedangkan lainnya BUMN yang prioritasnya untung sebesar-besarnya," ujarnya.
Menurut dia, penggabungan Pertagas ke dalam PT PGN Tbk jelas bertentangan dengan strategi dan
roadmap Kementerian BUMN sebelumnya dengan membangun perusahaan
holding yang kuat. Untuk perusahaan sejenis yang konsep itu sudah diterapkan dan sukses melalui industri pupuk, semen, dan industri jasa pelabuhan sehingga akan dilanjutkan lagi untuk sektor industri lain termasuk Migas.
Rencana itu juga jelas bertentangan dengan Pertamina untuk menjadi perusahaan migas dunia dan selanjutnya perusahaan energi penguasa Asia.
"Masyarakat pasti akan bertanya-tanya, ada apa dengan rencana itu, kok menteri terkait seperti menelan ludahnya kembali dan menabrak pakem penataan dan pengembangan BUMN yang sangat dipercayai dan dibanggakannya sebagai solusi terbaik ini," kritiknya.
Rencana tersebut pada dasarnya sebuah kebijakan strategis. Jika dijalankan saat ini berarti melanggar arahan presiden RI untuk tidak membuat keputusan strategis yang berdampak besar bagi negara dan masyarakat.
"Apa ada kekuatan besar di balik rencana ini yang tidak bisa ditolak kementerian BUMN atau apakah ini merupakan salah satu deal politik untuk kursi capres/cawapres," katanya.
Ia menambahkan, beberapa negara memang punya perusahaan BUMN khusus di bidang gas, misalnya Kogas (Korean Gas), dan Kansai Gas Jepang, tetapi haruslah dipahami bahwa perusahaan tersebut bukan produsen gas, melainkan mengimpor gas dalam bentuk LNG lalu didistribusikan kepada konsumen industri listrik dan rumah tangga di negara masing-masing.
Dengan melihat praktik terapan bisnis gas maupun migas dunia, semestinya PGN harus mengembangkan jaringan distribusi ke konsumen (hilir) sehingga masyarakat bisa menikmati bahan bakar gas yang bersih dan murah, hal itu yang tidak dilakukan PGN, katanya.
[wid]