Kementerian Dalam Negeri sudah menyiapkan Perppu Pemilu sebagai antisipasi jika KPU tidak bisa menyelesaikan rekapitulasi suara tingkat nasional pada 9 Mei besok. Langkah Kemendagri ini dipandang belum mendesak.
"Perppu hanya boleh dikeluarkan kalau ada kondisi mendesak, darurat atau membahayakan negara," ujar pakar hukum tata negara dari Universitas Parahyangan, Asep Warlan Yusuf kepada wartawan di Jakarta, Kamis (8/5).
Menurut dia, jika rekapitulasi suara nasional tidak tuntas tetap waktu hanya masalah administrasi, yaitu kegagalan KPU sebagai penyelenggara Pemilu untuk menjalankan tugasnya.
"Masalah kegagalan administrasi tidak boleh dijadikan alasan serta merta dikeluarkan Perpu. Seolah negeri ini selalu dalam keadaan darurat terus," kritiknya.
Terlebih, Perppu dikeluarkan diikuti perubahan pasal yang bisa mempidanakan penyelenggara Pemilu karena tidak memenuhi tenggat waktu yang ditetapkan.
UU Pemilu menegaskan secara eksplisit bahwa penyelenggara Pemilu harus menyelesaikan rekapitulasi suara paling lambat 30 hari setelah Pemilu atau dikenaikan sanksi pidana.
"Jadi sangat tidak boleh Perppu dikeluarkan hanya karena ingin melindungi penyelenggara Pemilu," imbuhnya.
Ia pun berpikir KPU akan tetap mengetuk palu penetapan rekapitulasi sesuai batas waktu yang ditentukan UU meski banyak suara protes. KPU diyakini juga tidak akan menerima Perppu karena itu sama saja menerima kegagalan.
"KPU akan tetap ketuk palu tanda penyelesaikan tugas mereka meski nantinya akan banyak protes dari partai politik maupun caleg-caleg," pungkas Asep.
[wid]