Pemerintah diminta mengkaji pemutusan kontrak karya PT Freeport Indonesia yang terus menolak kebijakan larangan ekspor mineral mentah. Perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) itu melaporkan Indonesia ke Arbitrase Internasional.
Menteri Perindustrian (Menperin) MS Hidayat mengaku tidak akan ambil pusing soal langkah Freeport ke pengadilan arbitrase. Freeport melaporkan Indonesia ke Arbitrase karena bisnisnya terganggu dengan kebijakan Undang-Undang (UU) No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
“Nanti dihadapi, kita hadapi. Pemerintah akan hadapi itu, mau gimana lagi,†tegas Hidayat di Jakarta, kemarin.
Bekas Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) itu bi-lang, Freeport kesal karena tak diberi kelonggaran bea keluar (BK) oleh Kementerian Keuangan (Ke-menkeu).
Hidayat menceritakan, dari penuturan Freeport, perusahaan itu lebih memilih membayar uang jaminan daripada membayar bea keluar ekspor mineral mentah.
“Mereka merasa dengan uang jaminan itu menunjukkan mereka serius bangun smelter,†ujarnya.
Hidayat menyebut, wewenang kelonggaran BK atau pembayaran uang jaminan ada di Kemenkeu. Nah, karena menunggu keputusan Menkeu soal BK itu, Freeport melaporkan ke Arbitrase.
“Saya tidak tahu kelanjutannya itu di Kementerian Keuangan,†kata politisi Partai Golkar itu.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan juga mengaku, Freeport marah ke Indonesia akibat larangan ekspor mineral mentah sehingga mereka membawanya ke Arbitrase Internasional.
“Freeport marah, sangat marah pada Indonesia. Sudah disuarakan mereka ke Arbitrase, ya risiko pemerintah mengeluarkan pembatasan ekspor mentah. Pemerintah cukup keras dalam ekspor mineral mentah,†jelasnya.
“Pemerintah tak akan gentar oleh ancaman Freeport tersebut. Perusahaan itu sudah terlalu lama diberi kelonggaran mengeruk kekayaan alam di Papua,†imbuh bekas Dirut PLN itu.
“Kita sudah terlalu lama memberikan keleluasaan kepada mereka. Aturan baru ini memang kena ke perusahaan sebesar Freeport dan Newmont. Mereka sangat marah,†ucap Dahlan.
Pengamat hukum internasional dari Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana mengatakan, pemegang Kontrak Karya (KK) dalam hal ini salah satunya Freeport tidak bisa mengajukan gugatan BK mineral.
Hikmahanto menegaskan, dalam KK posisi pemerintah hanya sebagai mitra atau entitas perdata, bukanlah regulator. Dengan demikian, kedudukan pemerintah sebagai regulator tidak seharusnya dikekang hanya karena sebuah kontrak yang dilakukan.
“Dalam konteks pengenaan bea keluar, pemerintah sebagai perwakilan publik yang dapat mengeluarkan peraturan perundang-undangan,†jelasnya.
Apalagi, kata dia, pengenaan bea keluar sebagai kebijakan pemerintah bersifat mendorong realisasi pembangunan smelter. Dengan demikian, kebijakan BK progresif bukanlah penerimaan pajak untuk pendapatan negara.
Direktur Indonesia Monitoring Centre (IMS) Supriasa mengatakan, sudah saatnya pemerintah mengkaji pemutusan kontrak Freeport. Pasalnya, perusahaan tambang itu selalu melawan kebijakan pemerintah. Apalagi Freeport juga sudah bersikap ngeyel, tidak membayar dividen.
“Sudah saatnya perusahaan itu diberikan sanksi. Apalagi sekarang berani melawan pemerintah di Arbitrase. Karena itu pemerintah harus tegas,†katanya. ***