BANYAK orang yang tergiur menjadi cawapres Joko Widodo alias Jokowi di Pilpres nanti. Jusuf Kalla alias JK salah satunya. Tim JK di bawah komando Sofyan Wanandi (Liem Bian Koen) dan Jusuf Wanandi (Liem Bian Kie) tetap berusaha keras agar JK bisa menjadi Cawapres Jokowi. Melalui lobi-lobi dan pembentukan opini di media mereka gencar melakukan usahanya.
Bagaimana masa lalu JK? Penting diulas karena kita menginginkan pasangan Capres-Cawapres yang terbaik buat bangsa, negara dan kesejahteraan rakyat.
Bersama-sama dengan Laksamana Sukardi , Jusuf Kalla dipecat oleh Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sebagai Menteri Perdagangan. Gus Dur mengatakan, kedua orang itu terlibat dalam sejumlah kasus korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Alasan kedua menteri terlibat KKN itu diutarakan Gus Dur dalam Rapat Konsultasi Tertutup antara pemerintah dan DPR di gedung DPR, Jakarta, 27 April 2000. Saat itu, informasi mengenai hal itu diungkapkan Ketua Fraksi Partai Golkar Eki Syachrudin kepada pers usai menghadiri rapat konsultasi tersebut.
Rapat tertutup yang berlangsung kurang lebih lima jam itu dipimpin oleh Ketua DPR Akbar Tanjung. Presiden didampingi para menteri antara lain Menko Ekuin Kwik Kian Gie, Menkeu Bambang Sudibyo, Menteri Pertambangan dan Energi Susilo Bambang Yudhoyono, Menlu Alwi Shihab, dan Menteri Pendidikan Nasional Yahya Muhaimin.
Kasus KKN yang diungkapkan Gus Dur disampaikan hanya kepada sekitar 40 pimpinan dan sejumlah anggota Dewan yang mengikuti Rapat Konsultasi tertutup tersebut. Alasan Gus Dur, pemaparan kasus KKN itu kurang etis bila disampaikan secara terbuka.
Grup Bosowa, milik Aksa Mahmud adik ipar JK, pada tahun 1997/98 termasuk 20 debitur terbesar Bank Mandiri yang macet. JK yang menjabat sebagai komisaris utama PT Semen Bosowa dan Aksa Mahmud sebagai direktur utama waktu itu dianggap harus bertanggungjawab terhadap kredit macet perusahaan tersebut di Bank Mandiri sebesar Rp1,4 triliun. Berdasarkan laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Bank Mandiri pernah menghapusbukukan sebagian utang milik perusahaan milik Kalla ini.
Kalla Grup, Bukaka Grup dan Bosowa Grup, Intim Grup yang semuanya merupakan bisnis keluarga JK, mendapatkan banyak sekali proyek besar pada waktu JK menjabat sebagai Wakil Presiden 2004-2009. Proyek-proyek itu antara lain adalah pembangunan PLTA di Sulawesi Selatan, Bukaka mendapat order pembangunan PLTA di Ussu di Kabupaten Luwu' Timur, berkapasitas 620 MW, PLTA senilai Rp 1,44 triliun di Pinrang. Bukaka juga membangun PLTA dengan tiga turbin di Sungai Poso, Sulawesi Tengah, berkapasitas total 780 MW.
Selain ditengarai memainkan pengaruh kekuasaan untuk mendapatkan bisnis ini, pelaksanaannya kerap melanggar aturan. PLTA Poso, misalnya, mulai dibangun sebelum ada AMDAL yang memenuhi syarat. Jaringan SUTET-nya ke Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara dibangun tanpa AMDAL. Di Sumatera Utara, kelompok yang dipimpin Achmad Kalla, adik kandung JK mendapat order pembangunan PLTA di Pintu Pohan, atau PLTA Asahan III berkapasitas 200 MW .
Bukaka juga terlibat dalam pembangunan pipa gas alam oleh PT Bukaka Barelang Energy senilai 750 juta dolar AS atau setara dengan Rp 7,5 triliun yang akan terentang dari Pagar Dea, Sumatera Selatan ke Batam, pembangunan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) senilai 92 juta dolar AS atau Rp 920 miliar di Pulau Sembilang dekat Batam, pembangunan pembangkit listrik tenaga gas di Sarulla, Tarutung, Sumatera Utara yang akan menghasilkan 300 MW. Terbaru, adalah rencana pembangunan 19 PLTA berkekuatan 10.000 MW. Rencana ini dinilai berbahaya secara ekonomi karena Kalla mendorong BPD-BPD se Indonesia yang membiayainya dengan mengandalkan dana murah di bank-bank milik pemda tersebut.
Masalahnya, dana murah itu adalah dana jangka pendek, sedangkan pembangunan PLTA adalah proyek berjangka waktu panjang. Rata-rata baru setelah 7 tahun, ada duit yang masuk. Jika terjadi sedikit saja goncangan, BPD-BPD bakal semaput karena dana jangka pendek mereka dipakai untuk membiayai proyek jangka panjang. Kengototan Kalla bisa dimaklumi karena kelompok-kelompok Bukaka, Bosowa , dan Intim (Halim Kalla) termasuk paket kontraktor pembangunan 19 PLTU itu.
Kelompok Bosowa mendapat order pembangunan PLTU Jeneponto di Sulsel tanpa tender (
Rakyat Merdeka, 7 Juni 2006). Sedangkan kelompok Intim milik Halim Kalla yang juga salah seorang Komisaris Lion Air akan membangun PLTU berkapasitas 3x300 MW di Cilacap, Jateng, dengan bahan baku batubara yang dipasok dari konsesi pertambangan batubara seluas 5 ribu hektar milik kelompok Intim di Kaltim (laporan
GlobeAsia, September 2008).
Masih banyak lagi proyek-proyek lainnya seperti Monorail di DKI (akhirnya batal), beberapa bandara, jalan tol dan yang lainnya yang diduga kuat bisnis yang didapat pengaruh dari kekuasaan JK.
Demikianlah sepak terjang JK dan kelompok bisnis keluarganya ketika menjabat sebagai Wapres 2004-2009. Menjadi beralasan ada kalangan menyebut sangat berbahaya bila JK menjadi cawapres Jokowi dan akhirnya menjadi Wapres bilamana pasangan Jokowi-JK menang. Pemerintahan Jokowi-JK akan menjadi pemerintah KKN yang meluas ke daerah-daerah, sulit untuk memberantas korupsi dan akan mengulangi pola 2004-2009, yaitu mengambil alih Golkar dan akan mendominasi pemerintahan Jokowi demham Golkarnya.
Bukankah kalau begitu kita menjadi mundur kembali ke masa lalu, berputar lagi dengan masalah KKN, sementara negara-negara lain makin maju dan rakyatnya makin sejahtera.
Usia JK sudah 72, sekarang mungkin terlihat sehat namun sudah tidak sekuat 5 tahun lalu dan menurut rata-rata orang Indonesia sudah terlalu berat untuk melaksanakan tugas-tugas negara yang berat dari hari ke hari. Di sosial media JK banyak disindir "Pak Tua...diluar banyak angin, ....siap-siap kerokan...."
JK adalah tokoh bangsa yang dihormati saat ini karena telah menduduki berbagai jabatan tinggi dan telah sangat senior. Sangat rugi kalau terus menerus dijadikan bulan-bulanan atau sindiran yang bernada melecehkan dan diungkit-ungkit masalah KKN nya. Kalau JK tetap ngotot untuk menjadi Cawapres Jokowi, maka serangan-serangan itu akan terus berlanjut dan meningkat. Sehingga bukannya menambah nilai Jokowi, namun akan mengurangi nilai Jokowi. Bahkan, akan menjadi fokus serangan dari lawan-lawan politik karena memang menjadi titik lemah Jokowi-JK.
Bukan tidak mungkin akan ada kelompok masyarakat yang menuntut KPK agar menyelidiki kasus-kasus KKN JK sewaktu menjadi Wapres Jenderal (purn) SBY 2004-2009 . Sedangkan pembelaan dari pengurus dan konstituen Golkar tidak mungkin diharapkan, karena mereka hanya bisa bergerak apabila disediakan logistik yang cukup. Oleh karena itu kemungkinannya sangat besar pasangan Jokowi-JK akan kalah.
[***]Penulis adalah pemerhati sosial politik, tinggal di Jakarta