Perjuangan kaum penyandang cacat yang tergabung dalam Koalisi Organisasi Disabilitas Indonesia menuntut keadilan tidak pernah suruh. Kemarin, didampingi aktivis Lembaga Bantuan Hukum (LBH), koalisi mengadukan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M Nuh ke Ombudsman.
Mendikbud M Nuh dituding telah bertindak diskriminatif daÂlam membuat aturan Seleksi Nasional Masuk Perguruan TingÂgi Negeri (SNMPTN). Aduan terÂÂsebut dilayangkan ke lembaga neÂÂgara yang mempunyai keweÂnangÂÂan mengawasi penyeÂlengÂgaÂraan pelayanan publik yakni OmÂbudsman di Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta, keÂmarin.
“Syarat-syarat diskriminatif tersebut berupa tidak tuna netra, tidak tuna rungu, tidak tuna wiÂcara, tidak tuna daksa, tidak buta warÂna keseluruhan boleh buta warÂna sebagian dan tidak buta warÂna keseluruhan maupun seÂbagian,†kata Pengacara Publik LBH Jakarta, Tigor Hutapea di Kantor Ombudsman, Jakarta, keÂmarin.
Sebelumnya, pada 11 Maret 2014 organisasi penyandang diÂsaÂbilitas dan LBH Jakarta telah melayangkan somasi kepada KeÂmendikbud terkait kebijakan syaÂrat-syarat SNMPTN 2014. NaÂmun hingga kemarin, pihak KeÂmenÂdikbud belum merespon soÂmasi yang diberikan secara resmi.
“Tidak adanya balasan meÂnunjukkan, kalau KeÂmendikbud sudah menyalahi pasal 4, pasal 20 dan pasal 34 Undang-Undang NoÂmor 25 tahun 2009 tentang pelaÂyanÂan publik. Dalam undang-unÂdang itu disebutkan, kalau peÂnyelenggara publik harus menyeÂlengÂgarakan pelayanan dengan adil, tidak diskriminatif dan proÂfeÂssional,†sesalnya.
Menurut Tigor, syarat-syarat SNMPTN tersebut telah meÂlanggar berbagai aturan. Pertama melanggar pasal 11, pasal 12, paÂsal 13, pasal 60 ayat 1, dan pasal 71 undang-undang nomoe 39 tahun 2009 tentang HAM. Kedua meÂlanggar pasal 5 ayat 1 Undang-UnÂdang Nomor 20 tahun 2003 tenÂtang sistem pendidikan nasional. KeÂmudian melanggar pasal 13 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang pengesahan konÂvensi Internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.
“Yang paling penting syarat-syarat tersebut melanggar pasal 24 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang pengesahan konveÂnan Internasional tentang hak-hak penyandang disabilitas, dan melanggar pasal 11 dan 12 Undang-UnÂdang Nomor 4 tahun 1997 tenÂtang penyandang cacat,†jelas dia.
Lebih lanjut Tigor mengaku sudah menyiapkan langkah hukum, apaÂÂbila aduan kepada OmÂbudsÂman ini gagal. LBH dan Koalisi Organisasi Disabilitas berencana meÂngajukan gugatan ke PengaÂdilan Tata Usaha Negara (PTUN). “BerÂkas-berkas sudah siap, tinggal ekÂsekusi saja. Kami kan punya wakÂtu 90 hari sejak menemukan maÂsaÂlah ini. Jadi masih ada dua bulan lagi,†tuturnya.
“Kami ingin memaksimalkan upaya yang ada. Jadi sekarang kami upayakan dulu ke OmÂbudsÂman. Kalau di sini gagal, baru ambil langkah hukum,†tamÂbahÂnya.
Koordinator Persatuan PeÂnyanÂdang Disabilitas Indonesia (PPDI) Ariani mengaku kecewa atas terbitnya persyaratan terseÂbut. Dia menilai, Kemendikbud suÂdah bersikap sangat tidak adil terÂhadap para penyandang disaÂbiÂlitas.
“Masa kaum disabilitas mau beÂÂlajar saja dilarang. Mereka ruÂpanya nggak tahu, banyak kaum disabilitas yang sukses. BethoÂven, Thomas Alfa Edison, Stephen HawÂking itu kaum disabilitas,†cibirnya.
Menurut Ariani, sudah banyak penyandang disabilitas yang sukses lewat jalur akademisi. Ada yang menjadi dosen, doktor, guru, dan lain-lain. “Ini bu MauÂlani Rotinsulu yang kaum disaÂbilitas itu dokter loh. Doktor gigi. Jadi, jangan meremehkan ya,†ujar dia kesal.
Dia pun berharap agar KemenÂÂdikbud meminta maaf secara terÂbuka kepada kaum disabilitas, kaÂrena sudah membuat aturan seÂperti itu. “Secara pribadi saya meÂÂrasa tersinggung. Karena kaum disabilitas bahkan tidak diÂberi keÂsempatan untuk bersaing,†sesalÂnya.
Senada dengan Ariani, KoorÂdiÂnator Himpunan Wanita DisaÂbiÂlitas Indonesia (HWDI), Maulani Rotinsulu pun mempertanyakan sikap Kemendikbud yang seolah tidak mengerti kaum disabilitas. DiriÂnya merasa seperti di justifikasi tidak mampu, dengan aturÂan tersebut. “Apa mereka tidak tahu beratnya hidup kaum diÂsabilitas? Saya saja sempat dilaÂrang untuk jadi Dokter karena sulit berbicara. Eh malah sampai bikin aturan semacam itu,†kritiknya.
Menurut Maulani, tanpa adaÂnya aturan yang melarang, kaum disabilitas pun sudah sadar akan posisinya. Selama ini, kata MauÂlani, para penyandang disabilitas meÂmang berupaya keras meleÂpasÂkan label tersebut, guna meÂnyetarakan diri dengan orang normal. Tapi mereka tidak akan mengambil bidang yang memang tidak bisa ditangani.
“Tidak pernah ada diantara kami yang mencoba jadi pilot atau tentara. Sebab kami tahu poÂsisi tersebut membutuhkan apa yang tidak kami miliki. Terlalu berÂbahaya bagi kami dan orang lain jika kami mengambil posisi itu. Jadi soal itu tidak perlu diÂatur,†tandasnya.
Dia pun berharap, agar aturan ini bisa segera dihapuskan. SuÂpaya para penyandang disabilitas bisa ikut bersaing secara adil. “JaÂngan seperti ini, kesempatan saja sudah ditiadakan. Kami tidak meÂminta diistimewakan kok. Yang kami minta hanya hak,†ketusnya.
Menanggapi aduan tersebut, anggota Ombudsman Bidang PeÂnyelesaian Laporan, Budi SanÂtoÂso berjanji akan memberikan banÂtuan semaksimal mungkin. PiÂhakÂnya akan segera memanggil piÂhak-pihak terkait untuk menyeÂlesaikan masalah ini.
Korban Tragedi 1965 Minta Dukungan WantimpresNgarep Namanya Direhabilitasi Oleh Pemerintahan SBYBerbagai bentuk diskriminasi masih dialami para korban TraÂgeÂdi 1965. Meski Mahkamah Agung (MA) pada 2003 telah meÂnyamÂpaikan pertimbangan keÂpada presiden untuk memberikan rehabilitasi pada korban, hingga saat ini mereka masih belum bisa mendapatkan hak-haknya.
Perwakilan korban 1965, Nani Nurani, beserta tim advokasi reÂhaÂbilitasi korban 1965 menÂdaÂtaÂngi kantor Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) di Jalan VeÂteran III, Jakarta, kemarin. MeÂreka menyampaikan surat perÂmoÂhonan rehabilitasi nama baik untuk para korban 1965 kepada Wantimpres untuk diteruskan kepada Presiden SBY.
Nani Nurani, korban Tragedi 1965 menceritakan, dirinya telah mengalami penahanan di penjara tanpa proses hukum selama 1968-1975, sementara Kartu TanÂda Penduduk-nya (KTP) diberi tanda eks tahanan politik. Tak haÂnya itu, dirinya juga harus menÂjaÂlankan wajib lapor setiap bulanÂnya sampai pada tahun 2000.
“Sejak Mahkamah Agung meÂmenangkan saya, bahwa penÂcanÂtumÂan nama saya dalam daftar orang yang terlibat organisasi terÂlarang merupakan perbuatan meÂlawan hukum, saya selalu berÂkirim surat kepada presiden untuk mendapatkan rehabilitasi,†ungÂkapnya.
Nani mengatakan, dalam keÂsemÂpatan ini dia hanya sendirian mengajukan permohonan rehaÂbiÂlÂitasi sebagai korban 1965 karena para korban lainnya tidak meÂmiliki dokumentasi surat-surat yang lengkap, seperti surat pemÂbebasan, surat tahanan rumah, dan surat wajib lapor. “Banyak korÂban 1965 surat pembeÂbasÂanÂnya saja tidak punya, sementara saya masih lengkap dan disimpan rapi, saya berharap jika perÂmoÂhonÂan saya dikabulkan maka ini akan menjadi pintu masuk bagi para korban lainnya,†ujarnya.
Para korban, menurutnya, meÂminta agar pemerintah mengemÂbalikan hak-hak mereka sesuai dengan martabat manusia dan sebagaimana manusia lain yang ada di Indonesia. “Bagi kami yang penting kami dinyatakan tidak bersalah,†tekannya.
Direktur LBH Masyarakat, Ricky Gunawan mengatakan, hingÂga saat ini para korban 1965 masih mengalami pelanggaran HAM dan terpaksa menanggung stigma buruk atas peristiwa 1965. “Contohnya Bu Nani ini yang pernah dicekal tanpa dasar saat hendak bepergian ke luar negeri dan tidak mendapatkan KTP seumur hidup saat usianya sudah 60 tahun,†ungkapnya.
Menurut dia, tim advokasi suÂdah menempuh berbagai proses hukum termasuk melakukan guÂgatan secara perdata dan melaÂyangÂkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). “KeÂÂdaÂtangan kami hari ini ke WanÂtimÂpres karena kami sebelumnya suÂdah mengirimkan surat ke preÂsiden untuk meminta rehabilitasi bagi korban 1965 tapi surat itu beÂlum direspon oleh presiden,†katanya.
Pihaknya meminta dukungan dari Wantimpres untung mendoÂrong agar presiden segera memÂbeÂrikan rehabilitasi bagi para korÂban 1965. Dia berharap Presiden SBY di akhir masa jabatannya seÂgera memberikan rehabilitasi bagi para korban 1965. “Beliau seÂbagai kepala negara memÂpuÂnyai kewenangan untuk itu, apaÂlagi yudikatif juga telah menÂdoÂrong pemerintah memberikan rehabilitasi bagi korban 1965,†tandasnya.
Pengacara publik dari LBH JaÂkarta, Pratiwi Febry, mengaÂtakan tim advokasi sudah pernah meÂlakukan class action untuk peÂmuÂlihan korban 1965. “Tahun 2012 kita menang dalam judicial review Keppres nomor 28 tahun 1975 tentang Perlakuan Mereka yang Terlibat G30S/PKI GoÂlongan C yang menegaskan stigÂma terhadap korban 1965, KepÂpres tersebut menyebabkan baÂnyak Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang tiba-tiba di-PHK kareÂna dituduh terlibat peristiwa 1965,†katanya.
Tak hanya itu, Pratiwi menyeÂbutÂkÂan DPR dan MPR juga turut menÂdukung diberikannya rehaÂbilitasi tersebut. “Jadi dalam hal ini, harusnya Wantimpres mampu memberi pertimbangan yang bijaksana kepada presiden,†pungÂkasnya.
Ketua Anindo Warning Presiden Baru Rawan Tersandera Partai Koalisi
Melihat rapuhnya pemeÂrinÂtahan Susilo Bambang YudhoÂyonÂo-Boediono dalam menjaÂlankan roda pemeÂrintahan patut dicermati serius. Untuk itu, peÂmeÂrintahan ke depan harus diÂduÂkung parlemen yang solid, seÂhingga program-program pro rakyat terealisasi.
Hal itu disampaikan Ketua Umum DPP Aliansi Nasionalis InÂdonesia (ANINDO), Edwin H Soekawati saat dihubungi
RakÂyat Merdeka di Jakarta, keÂmarin.
Menurutnya, pemeÂrinÂtahÂan mendatang baik di ekseÂkutif maupun parlemen harus mengacu pada Undang Undang Dasar 1945 dan Pancasila.
“Koalisi yang dibangun peÂmeÂrintahan ke depan harus seÂirama baik dari segi flatporm mauÂpun ideologi. Sebab kita sudah meÂlihat bagaimana koaÂlisi parpol yang pramatis pada zaman SBY-Boediono,†kata Edwin.
Menurutnya, peristiwa terseÂbut sangat menyedihkan, di maÂna ketika pemerintah mengÂamÂbil kebijakan yang mengunÂtungÂkan, anggota koalisi rame-rame mendukung. “Namun, keÂtika pemerintah mengambil keÂbijakan tidak populis, ada angÂgota koalisi cari aman atau berÂsebrangan,†terangnya.
Jika pemerintahan ke depan tidak kuat, kata Edwin, preÂsiÂden akan tersandera dan jatuh di teÂngah jalan. “Akibatnya, rakÂyat bengkalai,†ujarnya. Meski demikian, Edwin berharap peÂmeÂrintah ke depan akan banyak meÂngÂalami kemajuan dengan diÂtoÂpang dengan koalisi yang kuat.
Menurut Edwin, kelemahan pemerintahan SBY-Boediono paÂda hakekatnya koalisi pragÂmaÂtis, bukan ideologi. SehingÂga tidak ada loyalitas dari parÂpol koalisi. “Akibatnya pada saat menguntungkan dukung raÂmai-ramai, tetapi kalau meruÂgikan lari, menggunting lipatÂan,†katanya.
Hal serupa juga dikatakan Ketua Asosiasi Pertekstilan InÂdÂoÂnesia (API) Ade Sudrajat. MeÂnurutnya, pasar dan pengÂusaha masih menanti hasil koaÂlisi yang akan dilakukan antarÂparpol untuk mengusung capres dan cawapresnya.
“Koalisi yang dibangun peÂmerintahan nanti harus kuat dan tegas. Jangan seperti koalisi gabungan pemerintahan saat ini yang tidak tegas, hanya ‘lipstik’ seÂhingga tidak mampu menÂcipÂtakan pemerintahan yang solid,†tegasnya.
Dia berharap koalisi yang akan dibangun menciptakan peÂmerintahan dengan program yang pro terhadap rakyat dan duÂnia ekonomi di Indonesia.
Pemerintah Diminta Usut Kebocoran UNKunci Jawaban Dihargai Rp 50 JutaPraktIk jual beli kunci jawaban Ujian Nasional (UN) maÂsih mewarnai bentuk keÂcuÂrangan penyelenggaraan UN tahun ini. Padahal praktek seÂruÂpa sudah terjadi di tahun-tahun sebelumnya.
Aktivis Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Slamet Maryanto menyatakan, praktik tersebut kembali terjadi, karena tidak ada ketegasan dari peÂmerintah untuk membawa maÂsalah tersebut ke ranah huÂkum. “Setiap tahun pada peÂnyelengÂgaÂraan UN selalu terdapat keÂcuÂrangan, akibatnya tujuan dari pendidikan itu sendiri tidak tercapai,†ungkapnya di Kantor LBH Jakarta, Jalan DipoÂneÂgoro, Jakarta, kemarin.
Menurutnya, selama pelakÂsaÂnaan UN tingkat SMA dan SMK pada tahun ini, posko peÂngaduan FSGI telah menerima banyak pengaduan dari maÂsyarakat mengenai laporan dan potensi kecurangan yang terÂjadi.
“Dari laporan yang masuk, ditemukan bahwa praktik sinÂdikat jual beli kunci jawaban dan kasus kekurangan soal daÂlam penyelenggaraan UN tahun ini,†ujarnya.
Hal sama ditegaskan Sekjen FSGI Retno Listyarti yang mengÂatakan untuk ketiga kalÂinya selama tiga tahun berÂturut-turut FSGI membuka posko pengÂaduan UN.
“Dalam laÂporÂan pengaduan yang kami teÂriÂma sejak 11 April lalu, praktik jual beli kunci jawaban itu dilakukan melalui perantara alumni yang tahun lalu juga membeli kunci jaÂwaban dan BimÂbingan Belajar (Bimbel) yang diikuti siswa sekolah berÂsangkutan,†ungÂkapnya.
Harga kunci jawaban, lanjutÂnya, juga mengalami kenaikan dibandingkan tahun lalu. “MiÂsalÂnya di DKI Jakarta tahun lalu 6 paket kunci jawaban diÂjual seharga Rp 6 juta tapi seÂkaÂrang naik jadi Rp 14 juta,†sebutnya.
Dia melihat, pasca ketentuan bahwa nilai UN juga dijadikan bahan pertimbangan untuk maÂsuk ke Perguruan Tinggi Negeri (PTN), sindikat jual beli kunci jawaban malah semakin marak.
Retno mengatakan saat ini sindikat pelaku jual beli kunci jawaban bahkan sampai memÂberÂikan jaminan uang kembali bila kunci jawabannya tidak benar. “Untuk pembayarannya, para siswa mengumpulkan uang kepada koordinator mulai dari tingkat kelas, jurusan IPA atau IPS, sekolah, hingga tingÂkat wilayah,†jelasnya.
Bahkan di sebuah daerah, lanÂjutnya, harga satu paket kunÂci jawab bisa mencapai Rp 50 juta. “Ada perbedaan harga, anÂtaÂra kunci jawaban yang seÂkeÂdar untuk lulus hingga kunci jaÂwaban yang menjamin bisa maÂsuk PTN,†tambahnya.
Dia menekankan bahwa prakÂtik jual beli kunci jawaban itu benar-benar terjadi. “BaÂnyak bukti yang bisa digunakan untuk mengungkap kasus ini tapi jangan korbankan anak didik,†pintanya. ***