PT Pertamina (Persero) berencana melakukan pembatasan solar subsidi karena kuotanya terbatas. Kelangkaan mengancam berbagai daerah.
Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina Hanung Budya mengatakan, kuota BBM subsidi tahun ini ditetapkan 48 juta kiÂloliter (KL). Pertamina kebaÂgian 47,36 juta KL atau 99,6 perÂsen dan sisanya diberikan kepada AKR Corporindo dan SPN. Dari angka tersebut, 32,32 juta KL dialokasikan untuk premium, solar subsidi 14,14 juta KL dan minyak tanah 0,9 juta KL.
Khusus untuk kuota solar subsidi, Hanung mengaku pihakÂnya khawatir pasokan tidak akan mencukupi sampai akhir tahun. Apalagi kuotanya dikurangi oleh pemerintah.
“Realisasi solar tahun lalu seÂbanyak 15,88 juta kiloliter, seÂmenÂtara tahun ini hanya diberi 14,14 juta kiloliter atau lebih renÂdah 11 persen,†kata Hanung di Jakarta, kemarin.
Karena itu, menurut dia, menÂjelang akhir tahun Pertamina akan melakukan pembatasan soÂlar. Hal ini dilakukan untuk menÂjaga paÂsokan karena kuotaÂnya tidak menÂcukupi, bukan karena kiÂnerja PerÂtamina yang tidak baik.
Oleh sebab itu, pihaknya tidak akan menambah kuota solar. “Kalau Pertamina menyalurkan BBM subsidi melebihi kuota yang ditetapkan APBN, itu keÂleÂbihannya tidak akan dibayar peÂmerintah,†tutur Hanung.
Terkait banyaknya daerah yang mengeluhkan sulitnya mendaÂpatÂkan BBM subsidi, Hanung meÂngatakan, ada dua penyebab utaÂma kelangkaan BBM di daerah. Pertama, adanya kuota BBM subÂsidi. Lalu kuota tersebut diÂbagi-bagi ke seluruh kabupaten/kota.
Ia mencontohkan, ada satu kaÂbupaten di Kalimantan yang taÂhun lalu perÂtumbuhan ekonomiÂnya menÂcaÂpai 20 persen, tapi diberi kuota BBM subsidi hanya 6 persen. Otomatis masyaÂrakatÂnya bakal berisik karena kekuÂrangan BBM subsidi.
Kedua, kurangnya infrastrukÂtur penyaluran BBM subsidi. HaÂnung mempertanyakan siapa seÂbenarnya yang bertanggung jaÂwab menyediakan infrastruktur seperti stasiun pengisian BBM.
Menurut dia, jika pemerintah daerah bisa mengalokasikan angÂÂgaran untuk pembangunan SPBU, tentu kelangkaan bisa teratasi.
“Jika di daerah ada SPBU, tingÂgal meminta kuota BBM subsidi ke Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH MiÂgas), selanjutnya PertaÂmina akan memasok BBM subÂsidi ke SPBU itu,†jelasnya.
Hingga kini masih terdapat 12 kabupaten/kota belum memiliki penyalur BBM seperti SPBU. MeÂnurut Hanung, salah satu yang menjadi kendala investor berÂinÂvesÂtasi di 12 daerah tersebut lanÂtaran faktor infrastruktur, seÂhingga investor enggan meÂnaÂnamÂkan investasinya dalam pemÂbangunan SPBU atau lemÂbaga penyalur BBM lainnya.
Karena itu, dia mengusulkan para bupati, khususnya di luar Pulau Jawa dan Sumatera, agar mengalokasikan anggaran di Anggaran Pendapatan dan BeÂlanja Daerah (APBD) untuk pemÂbangunan sarana pra sarana peÂnyaluran BBM.
Direktur Indonesia Monitoring Centre (IMC) Supriansa meÂngaÂtakan, meski kuota solar habis, Pertamina tetap harus menyaÂlurkannya. Menurut dia, jika peÂnyaluran solar tersendat, akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Apalagi solar banyak digunakan oleh mobil industri kecil dan menengah.
“DPR dan pemerintah harus segera rapat membahas penamÂbahan kuota BBM subsidi sebeÂlum terlamÂbat,†kata Supriansa.
Terkait utang subsidi pemeÂrintah kepada Pertamina, SupÂrianÂsa menyarankan sebaiknya langsung diselesaikan. Jangan sampai masalah tersebut malah membuat masyarakat susah deÂngan tidak dipasoknya solar oleh Pertamina.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Susilo Siswoutomo mengatakan, meminta pemasangan
Radio FreÂquency Identification (RFID) lebih difokuskan kepada kendaÂraan yang menggunakan BBM solar.
“Untuk kendaraan premium nggak usah, nanti saja, fokus ke kendaraan solar dulu saja,†pintanya.
Susilo mengaku, banyak BBM solar subsidi diselewengkan ke industri, pertambangan dan perÂkebunan. Padahal, sektor-sektor tersebut dilarang menggunakan BBM subsidi.
“Solar itu banyak yang jebol kuotanya di beberapa daerah. Ini karena di daerah-daerah tertentu solar dijual ke industri dan perÂtamÂbangan,†cetus Susilo. ***