Kepala daerah seluruh Indonesia diminta mengalokasikan anggaran Proda (Proyek Daerah) dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) untuk sertifikasi tanah.
Soalnya, hingga kini separuh dari total bidang tanah di seluruh Indonesia belum bersertifikat.
“Tercatat baru 44,5 juta bidang tanah yang sudah bersertifikat, sementara 41,3 juta bidang yang lain belum disertifikasi. Sedangkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam hitungannya selama ini hanya dijatah dua juta sertifikat gratis oleh negara dalam bentuk Proyek Nasional (Prona) setiap tahun,†kata Kepala BPN Hendarman Supandji.
Hendarman mengaku, kalau hanya mengandalkan anggaran dari pusat, masyarakat harus mengantre panjang, hingga 21 tahun. Namun, jika BPN mendapat dukungan dari pemda di seluruh Indonesia, kapasitas pembuatan sertifikat tanah dapat ditingkatkan.
Ia menargetkan kuota pembuatan sertifikat tanah bisa mencapai 5 juta bidang, bahkan lebih per tahunnya. Artinya, dengan jumlah sebanyak itu, pemerintah dapat menyelesaikan sisa tanah yang belum bersertifikat di seluruh Indonesia kurang dari delapan tahun.
Dia mengatakan, sertifikat tanah merupakan salah satu hal yang
urgent dilakukan untuk mendongkrak ekonomi kerakyatan. Masyarakat yang kurang mampu dapat mengagunkan sertifikatnya untuk penambahan modal usaha, sehingga program ini dapat positif bagi pembangunan.
Selain itu, lanjut Hendarman, sertifikasi tanah juga membuat masyarakat kurang mampu bisa mendapatkan ketenangan dan kepastian hukum terhadap hak atas tanah yang dimilikinya. Karena seperti diketahui, tanah yang tidak bersertifikat kepemilikannya rentan tumpang tindih. Hal ini bisa menjurus pada sengketa yang acapkali melibatkan perusahaan-perusahaan besar.
Jika pemda campur tangan, maka daerah berperan besar dalam menekan jumlah sengketa tanah di daerahnya. “Sebab Undang-Undang Dasar 1945 sudah tegas menyatakan bahwa tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,†ucap Hendarman.
Bekas Jaksa Agung ini optimistis, jika mendapat dukungan dari pemerintah daerah, BPN mampu menyelesaikan sertifikasi tanah dalam waktu kurang dari delapan tahun. Apalagi, proses pelayanan pertanahan saat ini sudah berbasis teknologi informasi. Sehingga, setiap jenis pelayanan punya batas waktu maksimal proses penyelesaiannya.
“Kita di BPN pusat bisa memonitor langsung di data center. Jika lewat batas waktu yang ditentukan maka petugas di seluruh Indonesia dapat ditegur. Peluang untuk memperlambat prosesnya semakin kecil,†cetusnya.
Hendarman mengklaim proses reformasi birokrasi di badan yang dipimpinnya mulai menuai hasil. Terbukti dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, BPN telah melakukan percepatan pelayanan yang signifikan di beberapa kantor seluruh Indonesia. ***