Kampanye terbuka partai politik peserta Pemilu 2014 sejak 16 Maret lalu sudah berakhir kemarin. Namun sayang, dalam kampanye terbuka itu, banyak parpol tak mampu berbuat optimal. Sehingga seringkali tempat terlalu besar, tapi peserta tak menyentuh setengah ruangan.
"Akibatnya, kampanye parpol terkesan sepi dan lengang. Tentu saja, hal seperti ini dapat mengurangi kesan positif terhadap parpol bersangkutan," jelas pengamat Pemilu Ray Rangkuti (Minggu, 6/4).
Panggung kampanye juga lebih banyak berisi hal-hal yang terkait dengan hiburan. Bahkan dapat disebut wajah panggung kampanye terbuka lebih banyak berisi hiburan daripada pendidikan politik.
"Efeknya, sering terjadi 'pelanggaran-pelanggaran kuno' kampanye. Seperti konvoi yang mengabaikan aturan lalu lintas, saweran-saweran, pelibatan anak-anak, bahkan tarian yang menjurus kepada erotisme," beber Ray.
Efek negatif lainnya adalah sarat utama kampanye terabaikannya secara serius. Yakni penyampaian visi-misi dan program partai. Dalam pandangan Ray, tak ada diskursus disampaikan, tak tergambarkan seperti apa Indonesia ke depan dalam kampanye partai-partai tersebut.
"Panggung kampanye kita kalau tak berisi hiburan, berisi 'kenyinyiran'. Ia menjadi tempat dimana sindiran-sindiran politik merajalela. Tentu saja sindiran berbeda dengan kritik. Kritik itu nalar objektif kritis atas situasi yang berkembang di tengah masyarakat," ungkap Ray.
Terakhir, dalam pantauan Ray terkait pelaksanaan kampanye, secara nyata masyarakat sudah berubah. Model kampanye terbuka klasik sudah tak diminati. Di tengah kesadaran pemilih yang meningkat, pengumpulan massa bukanlah sarana yang tepat.
"Sekarang, di tengah fasilitas media sosial yang menjamur, pemilih pemula kita khususnya, emoh berpanas hujan hadir di panggung kampanye, atau dengan telaten menghafal wajah, nama, nomor urut, dapil, dan parpol dari taburan baliho, spanduk dan umbul-umbul yang faktanya lebih banyak mengotori ruang publik.
Karena itu hemat Ray, model tatap muka, dialog yang intens, silaturrahmi yang terus menerus, tampaknya menjadi model kampanye masa depan. "Pertanyaannya, apakah partai kita menyadari perubahan-perubahan ini atau tetap ingin bergelut dengan cara klasik yang mulai tidak efektif. Mengeluarkan banyak biaya tapi efeknya dalam mendulang suara tidak seberapa," demikian Ray.
[zul]