RMOL. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tangerang memvonis pemilik pabrik kuali, Yuki Irawan, dengan pidana penjara selama 11 tahun dan denda Rp 500 juta. Majelis hakim menyatakan terdakwa kasus penganiyaan buruh itu telah melanggar KUHP, UU Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Perlindungan Anak, dan UU Perindustrian. Majelis hakim juga menyatakan tuntutan restitusi tidak dapat diterima karena jaksa penuntut umum dianggap tidak memohonkan dalam surat tuntutan berserta pertimbangannya.
Menanggapi vonis 11 tahun tersebut, Koalisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mendesak jaksa mengajukan banding. Pasalnya, vonis tersebut belum memenuhi rasa keadilan. Apalagi putusan itu masih jauh dari harapan karena tidak mengakomodir hak-hak para korban untuk mendapatkan restitusi atau ganti rugi.
"Kami mendesak Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Tangerang harus melakukan banding, sehingga keadilan korban terpenuhi," kata Tim Advokasi Kontras Syamsul Munir dalam jumpa pers di kantor Kontras, Jalan Borobudur, Jakarta, kemarin.
Menurut Tim Advokasi, vonis 11 tahun yang dijatuhkan bagi pemilik pabrik kuali Yuki Irawan masih jauh di bawah ancaman maksimum yakni 20 tahun berdasarkan Pasal 65 KUHP. Â Selain itu, sangat disayangkan ketika apa yang menjadi karakteristik dari tindak pidana perdagangan orang yaitu pemberian restitusi sebagai bentuk pemulihan hak-hak korban tidak dikabulkan oleh majelis hakim.
“Dalam persidangan dinyatakan korban memiliki hak atas restitusi atau ganti kerugian akibat tindak pidana. Bahkan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) telah menyampaikan kepada jaksa penuntut umum bahwa korban harus diberikan restitusi senilai Rp 17 miliar sebagai ganti rugi biaya pengobatan fisik dan psikis,†katanya.
Namun, lanjut Syamsul, dalam putusannya hakim lebih mendorong putusannya kepada pidana badan. “Sampai sekarang, para korban selalu menanyakan pemenuhan hak-haknya kepada kami sebagai pendamping. Namun, tuntutan restitusi mereka ditolak hakim,†ujarnya.
Dia melihat hakim perkara ini telah mengabaikan fakta-fakta persidangan dan menempatkan bukti formil lebih dominan daripada bukti materil. Selain itu, pemenuhan hak-hak normatif para buruh dalam proses tripartit antara pemberi kerja, pekerja, dan pemerintah juga bermasalah. “Dari hasil pertemuan tripartit yang sudah kita jalani sejak Februari lalu, tidak tercapai kesepakatan antara buruh dan pemilik mengenai pemenuhan hak-hak normatif para buruh seperti gaji dan pesangon,†katanya.
Kuasa hukum para buruh pabrik kuali, Rivai Kusumanegara, mengatakan tuntutan restitusi yang jumlahnya ditentukan LPSK merupakan penguatan terhadap tuntutan yang diajukan jaksa. “Meski saksi ahli dari LPSK sudah menjelaskan mengenai kebutuhan korban terhadap restitusi, majelis hakim tidak berpihak pada korban karena hanya fokus untuk memenjarakan tersangka, harusnya hakim memperhatikan pemulihan korban seperti yang ada sistem peradilan modern,†jelasnya.
Sementara itu, pemilik pabrik kuali Yuki Irawan juga merasa tidak puas dengan putusan tersebut dan mengajukan banding. "Walaupun kami tetap menghormati putusan pengadilan, tetap kami, Pak Yuki, akan mengajukan banding," kata Slamet Yuono selaku kuasa hukum Yuki di PN Tangerang. OSP
Kuasa hukum lain dari pihak korban, Togar SM Sijabat, menyatakan dalam putusannya hakim tidak mempertimbangkan UU Tindak Pidana Perdagangan Orang. “Dalam kasus-kasus perdagangan manusia tuntutan restitusi wajid dipenuhi,†imbuhnya.
Dia menilai, denda yang dijatuhkan hakim kepada terdakwa senilai Rp 500 juta sangat jauh dari tuntutan restitusi yang mencapai Rp 17 miliar. “Padahal hitungan Rp 17 Milyar itu adalah perhitungan dari sebuah lembaga negara yaitu LPSK,†tandasnya. [zul]