Terkait penyelesaian konflik Keraton Solo di Jogyakarta, Roy Suryo dianggap seperti mengail ikan dalam air keruh. Roy Suryo sudah terlalu jauh menggunakan posisinya sebagai orang Jawa, keturunan ningrat dan sekaligus politisi untuk mengambil manfaat politis atas konflik tersebut.
Rahmad Pribadi, lulusan Harvard University yang pemerhati budaya, mengatakan sebagai orang Jawa dirinya merasa risih melihat kelakukan Roy Suryo. Penyelesaian konflik Keraton Solo dengan cara mengundang dua tokoh sentral yakni Paku Buwono XIII Hangabehi dan Panembahan Agung Tedjowulan ke Gedung Agung di Yogyakarta menyalahi pakem yang ada. Sehingga pemanggilan itu lebih bermuatan politis daripada upaya untuk menyelesaikan masalah.
"Kalau mau bicara soal keturunan Kerajaan Mataram, ya harus digunakan silsilah dan posisi masing-masing," kata Rahmad kepada redaksi (Senin, 24/2).
Menurut Master of Public Administration dari Harvard University ini, sebenarnya Sri Sultan Hamengkubuwon X lebih pantas membantu penyelesaian konflik Keraton Solo dibanding Roy Suryo.
"Tetapi saya tahu, bahwa Sri Sultan HB X tidak akan pernah mau ikut intervensi kecuali Keraton Solo memintanya," ujar Rahmad Pribadi yang juga lulusan Texas University.
Dalam posisi itu, menurut pria muda kelahiran Jogyakarta ini, seharusnya Presiden SBY tidak mengundang kedua tokoh sentral Keraton Solo itu ke Jogyakarta, yang menjadi kekuasaan Sultan HBX sebagai raja.
"Harusnya, kalau saya kulo nuwun dulu dan harus melibatkan Sultan HBX sebagai raja Jogyakarta dalam penyelesaian itu karena wilayahnya digunakan sebagai tempat pertemuan. Itu kalau mau dilakukan penyelesaian dengan pendekatan budaya," ujarnya.
Kesalahan lain Roy Suryo adalah tidak memberi masukan yang bijaksana kepada Presiden SBY terkait pengundangan kedua tokoh Keraton Solo ke Jogyakarta. Seharusnya Presiden SBY tahu posisi tersebut.
"Kalau Yogyakarta pada tahun-tahun lalu mau dihilangkan keistimewaannya, lha Keraton Solo koq malah mau diurusi ? Khan aneh sekali rasanya. Pemerintah harus belajar sejarah dalam menyelesaikan kasus-kasus yang terkait dengan kerajaan dulu. Roy Suryo kalau mau jadi pembisik harus belajar sejarah Indonesia dulu, supaya tidak kesandung-sandung," paparnya.
Campur tangan Presiden SBY dalam konflik Keraton Solo mengingatkan Indonesia pada jaman penjajahan dahulu dimana, Gubernur Hindia Belanda selalu campur tangan dalam konflik keraton di Indonesia. Bahkan pemerintah kolonial memecah belah Kerajaan Mataram agar tidak memiliki kekuatan untuk melawan penjajahan.
Terkait dengan cara penyelesaian, Rahmad meluruskan permasalahan yang ada. Dengan konflik tersebut, keraton Solo seperti kembali ke sejarah jaman dulu yakni perebutan tahta kerajaan dan siapa yang akan memegang kendali kekuasaan. Penyelesaian itu harus lebih proper dan dikembalikan kepada keluarga besar keraton Solo yakni Putra Putri Pakubuwono XII.
Lebih lanjut diuraikan, kesalahan Roy Suryo ketiga adalah, membawa konflik Solo ke arena politik. Kasus ini pernah diselesaikan oleh Joko Widodo yang pada waktu itu Walikota Solo dari PDIP. Sementara persoalannya terletak pada tokoh sentral keraton Solo yang lain yakni GKR Wandansari Koes Moertiyah (Gusti Moeng) dan Eddy Wirabhumi, suaminya , yang mengepalai Lembaga Dewat Adat. Gusti Moeng dan Eddy Wirabhumi dahulunya adalah PDIP namun berpindah ke Partai Demokrat.
"SBY Demokrat, Roy Suryo Demokrat dan Gusti Moeng serta suaminya Eddy Wirabhumi adalah Demokrat juga. Lha penyelesaiannya di Jogyakarta, yang merupakan Dapilnya Roy Suryo. Khan sudah jelas arahnya," ujar Rahmad Pribadi yang calon anggota DPR dari Partai Golkar.
Rahmad Pribadi menegaskan, agar apa yang sudah dilakukan Jokowi dan diteruskan oleh Walikota Surakarta saat ini Hadi Rudyanto hendaknya dihormati.
"Jika memang pemerintah SBY mau membantu, percayakan saja kepada Walikota Solo dan jangan intervensi. Ini khan urusan putera-puteri PBXII," ujar Rahmad.
[dem]