Skandal Asian Agri Group menunjukkan dengan jelas bahwa terdapat hubungan yang erat antara penghancuran hutan dan habitat alami dengan korupsi, tax evasion, dan money laundering kebijakan di beberapa negara tax haven seperti British Virgin Island, Cayman Island, Bermuda, Mauritius, dan yang lainnya.
Indikasi money laundering misalnya, sudah lebih dari 10 tahun terakhir dilakukan oleh perusahaan besar seperti Asian Agri Group maupun sejumlah perusahaan lain yang memiliki shell company atau paper company di negara-negara tax haven seperti British Virgin Islands dan Cayman Islands.
Demikian pandangan masyarakat sipil Workshop "Kejahatan Keuangan di Sektor Kehutanan yang diadakan Chatham House (sebuah lembaga think tank independen bidang hubungan internasional yang terkemuka di Inggris), di London, United Kingdom, hari ini (Senin, 24/2). Workshop ini merupakan forum dialog antara pihak Indonesia, United Kingdom dan sejumlah pulau di wilayah teritori Inggris (the British Overseas Territories) seperti the British Virgin Islands, Jersey dan Guernsey.
Lokakarya ini dihadiri hingga 40 perwakilan dari Indonesia dan Intelijen Keuangan Inggris (FIU), Departemen Keuangan Inggris dan Departemen Pembangunan Internasional (DFID), Intelijen Keuangan British Virgin Islands, Jersey dan Guernsey dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang telah terlibat dalam masalah ini. Para undangan adalah mereka dengan keahlian khusus dalam penyelidikan pencucian uang, penggelapan pajak dan arus keuangan.
Dalam pertemuan tersebut, Pemerintah Indonesia mengirimkan delegasi yang diketuai oleh Yunus Husein, mantan Ketua PPATK dan saat ini tenaga ahli di UKP4. Rombongan pemerintah terdiri dari UKP4, Kejaksaan Agung, PPATK, Direktorat Pajak, dan Kementrian Luar Negeri/Kedutaan Besar RI di Inggris. Selain perwakilan pemerintah, dari Indonesia juga hadir dari perwakilan masyarakat sipil antara lain Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Indonesia Legal Resource Center (ILRC), The Ecological Justice, Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Metta Dharmasaputra (Jurnalis).
Lebih lanjut disebutkan, menjadi penting juga bagi pemerintah Inggris maupun Uni Eropa untuk melihat hubungan antara penghancuran hutan dan habitat alami dengan
tax evasion, korupsi dan
money laundering pada sektor kehutanan dan perkebunan melalui proses perundingan antara Uni Eropa dengan Indonesia mengenai Tata Kelola dan Perdagangan Sektor Kehutanan (FLEGT). Salah satu cara dengan mengubah atau memperketat UU anti
money laundering yang baru.
"Pada tataran FLEGT, kami melihat bahwa proses Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) membahayakan kehidupan masyarakat Indonesia dan iklim, karena verifikasi kayu masih didasarkan pada legalitas dalam artian sekedar pemenuhan syarat administrasif kehutanan. Belum didasarkan pada pengakuan hak masyarakat dan ambang batas
maksimum daya dukung lingkungan di Indonesia terhadap kehidupan rakyat
dan stabilitas iklim," papar Emerson Yuntho dari ICW.
Bahkan, kata dia menambahkan, perundingan mengenai hal ini tidak mempersyaratkan hal-hal yang berkaitan dengan
tax evasion, korupsi dan
money laundering pada sektor kehutanan dan perkebunan, sebagaimana yang terjadi pada perusahan-perusahaan besar seperti Asian Agri.
"Kami menilai penting menjadikan kasus Asian Agri sebagai pertimbangan untuk lebih mengenakan persyaratan ketat untuk mencegah arus
money laundering sektor kehutanan dari Indonesia.," jelasnya.
Proses ini bisa dilakukan dengan menerapkan prinsip
Know Your Customer (KYC) yang ketat dan publikasi yang terbuka dan dini mengenai
beneficial ownership atas perusahaan-perusahaan sektor kehutanan dan perkebunan yang masuk ke dalam system perbankan maupun pasar Uni Eropa.
Sebagaimana diketahui, skandal pajak Asian Agri saat ini merupakan skandal perpajakan terbesar di Indonesia. Pada tanggal 18 Desember 2012, Mahkamah Agung Republik Indonesia (Putusan No. 2239 K/PID.SUS/2012) menghukum Suwir Laut, selaku Tax Manager Asian Agri Group dengan hukuman pidana 2 tahun dengan percobaan 3 tahun dan mengharuskan korporasi AAG membayar denda Rp. 2,52 Triliun. Pada Februari 2014 lalu Asian Agri Group pada akhirnya menyatakan sanggup membayar denda pajak senilai Rp 2,5 triliun namun dilakukan secara mencicil
.[wid]