Berita

foto: net

Hukum

Sebaiknya, RUU KUHP dan KUHAP Buatan Penguasa Dibatalkan

SENIN, 17 FEBRUARI 2014 | 10:49 WIB | LAPORAN:

Beberapa subtansi dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) dan juga Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP)
akan mengurangi kewenangan luar biasa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan mengusik rasa keadilan masyarakat.  

Demikian rilis Indonesia Corruption Watch (ICW) yang diterima redaksi beberapa saat lalu (Senin, 17/2).

Perlu diketahui, Kementerian Hukum dan HAM menyerahkan naskah RUU KUHAP dan RUU Hukum Pidana (KUHP) ke Komisi Hukum DPR pada 6 Maret 2013. Kedua draf regulasi tersebut masuk ke dalam prioritas Program Legislasi Nasional periode 2009-2014.

Perlu diketahui, Kementerian Hukum dan HAM menyerahkan naskah RUU KUHAP dan RUU Hukum Pidana (KUHP) ke Komisi Hukum DPR pada 6 Maret 2013. Kedua draf regulasi tersebut masuk ke dalam prioritas Program Legislasi Nasional periode 2009-2014.

Dalam kiriman rilis ICW tersebut, rohaniawan yang terkenal kritis, Romo Benny Susetyo, menegaskan RUU KUHAP dan RUU KUHP mengebiri kekuasaan KPK karena dibuat oleh penguasa dan didukung oleh parlemen yang korup di mata publik.

"Sebaiknya RUU KUHAP dan RUU KUHP dibatalkan demi martabat hukum. Jika dipaksakan akan runtuh pilar hukum yang menjamin keadilan," terangnya.   

Sementara praktisi hukum, Iskandar Sonhadji, mengatakan, bidang yang paling lambat mengalami perubahan selama 15 tahun reformasi adalah bidang penegakan hukum. Satu-satunya lembaga penegak hukum yang masih menjadi harapan masyarakat dalam pemberantasan korupsi hanya KPK.

"Menghilangkan fungsi penyelidikan KPK sama dengan menghilangkan kewenangan luar biasa (extra ordinary) terhadap kejahatan luar biasa (extra ordinary). Padahal sampai saat ini belum ada perubahan yang signifikan di dalam tubuh peradilan," ujarnya.

Mereka sepakat, perubahan RUU KUHAP dan RUU KUHP hanya dilandasi kepentingan politis sesaat dan bukan kepentingan penegakan hukum yang melindungi rasa keadilan masyarakat.

Sedangkan anggota DPD asal NTT, Sarah Lery Mboeik, menyatakan sebaiknya draf tersebut dicabut karena merupakan langkah mundur bagi upaya pemberantasan korupsi.

"Karena korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary) maka tidak selayaknya delik pidana korupsi dimasukkan dalam RUU KUHP. Harusnya tetap diatur secara khusus di luar KUHP, dengan UU Tipikor tersendiri," ujarnya. [ald]

Populer

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Tamparan bagi Negara: WNA China Ilegal Berani Serang Prajurit TNI di Ketapang

Sabtu, 20 Desember 2025 | 09:26

Tunjuk Ara di Depan Luhut

Senin, 15 Desember 2025 | 21:49

Makin Botak, Pertanda Hidup Jokowi Tidak Tenang

Selasa, 16 Desember 2025 | 03:15

UPDATE

Bawaslu Usul Hapus Kampanye di Media Elektronik

Minggu, 21 Desember 2025 | 11:26

Huntap Warga Korban Bencana Sumatera Mulai Dibangun Hari Ini

Minggu, 21 Desember 2025 | 11:25

OTT Jaksa Jadi Prestasi Sekaligus Ujian bagi KPK

Minggu, 21 Desember 2025 | 11:11

Trauma Healing Kunci Pemulihan Mental Korban Bencana di Sumatera

Minggu, 21 Desember 2025 | 10:42

Lula dan Milei Saling Serang soal Venezuela di KTT Mercosur

Minggu, 21 Desember 2025 | 10:35

Langkah Muhammadiyah Salurkan Bantuan Kemanusiaan Luar Negeri Layak Ditiru

Minggu, 21 Desember 2025 | 10:24

Jadi Tersangka KPK, Harta Bupati Bekasi Naik Rp68 Miliar selama 6 Tahun

Minggu, 21 Desember 2025 | 09:56

Netanyahu-Trump Diisukan Bahas Rencana Serangan Baru ke Fasilitas Rudal Balistik Iran

Minggu, 21 Desember 2025 | 09:32

Status Bencana dan Kritik yang Kehilangan Arah

Minggu, 21 Desember 2025 | 08:55

Cak Imin Serukan Istiqomah Ala Mbah Bisri di Tengah Kisruh PBNU

Minggu, 21 Desember 2025 | 08:28

Selengkapnya