Pemerintah diminta menghormati asas kemitraan dan kepastian hukum dengan tidak membenturkan ketentuan bea keluar ekspor konsentrat tembaga dengan ketentuan pajak dan pungutan yang tertera dalam Kontrak Karya (KK) secara sepihak.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) Abrar Saleng mengungkapkan, pemerintah sebaiknya tidak gegabah menciderai perjanjian yang sudah disepakati dalam KK karena memaksa memberlakukan undang-undang dan aturan baru terkait pajak terhadap perusahaan pemegang KK.
Menurutnya, KK sifatnya Lex Specialis. Apabila ada undang-undang atau aturan baru, perusahaan pemegang KK tidak serta merta mengikuti undang-undang dan aturan tersebut.
“Kontrak Karya itu harus dianggap undang-undang dan bersifat mengikat. Apabila Kontrak Karya hendak diperbarui sesuai undang-undang dan aturan baru, maka dilakukan dalam regenosiasi. Dalam renegosiasi, kedudukan pemerintah dan perusahaan tambang sederajat, karena pemerintah menjadi salah satu peserta yang menandatangani KK,†jelas Abrar di Jakarta, kemarin.
Untuk diketahui, selama ini ketentuan pajak dan pungutan lainnya yang dikenakan pada perusahaan KK berlaku
Lex Specialis. Perusahaan pemegang KK membayar pajak, bea, dan pungutan sebesar 35 persen. Itu lebih besar dari pajak penghasilan perusahaan lain yang hanya 25 persen.
Pemberlakuan pungutan yang berbeda dengan perusahaan lainnya itu mengacu salah satunya pada surat Menteri Keuangan No S-1032/MK.04/1988 yang ditanda tangani Menteri Keuangan JB Sumarlin, yang mengakui bahwa KK harus diperlakukan sama dengan undang-undang.
Surat tersebut merupakan jawaban atas pertanyaan Direktur Jenderal Pajak yang mempersoalkan ketentuan perpajakan dalam KK. Dalam surat tersebut dijelaskan, ketentuan perpajakan yang diatur dalam KK diberlakukan secara khusus (
Lex Specialis).
Seperti diketahui, sejak 12 Januari 2014 pemerintah menetapkan pengenaan bea ekspor progresif terhadap konsentrat tembaga. Tahun ini, bea ekspor untuk konsentrat tembaga dikenai 25 persen dan naik menjadi 60 persen pada 2016.
Peneliti Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Iskandar Zulkarnain menilai pemerintah memiliki kesalahan dalam menentukan bea keluar ekspor konsentrat tembaga.
“Seharusnya diikuti dengan kebijakan paraturan turunan dan mekanismenya, agar para perusahaan dapat menjalankan perundang-undangannya tahun ini,†ujarnya kepada
Rakyat Merdeka, kemarin.
Sementara itu, Pemerintah tetap akan menjalankan dengan tegas UU Mineral dan Batu Bara serta peraturan pemerintah (PP) dan peraturan menteri (Permen) turunannya yang memaksa pengusaha membangun pabrik pengolahan mineral jika ingin melakukan ekspor beberapa komoditas mineral dalam bentuk konsentrat. Pun aturan mengenai bea keluar, pemerintah tidak akan memberi kelonggaran.
"Pokoknya pemerintah tetap stay pada PP dan peraturan terkait, termasuk PMK (Peraturan Menteri Keuangan), dan tetap akan dilaksanakan. Tapi, kami tetap dalam tahap berdialog dengan pelaku usaha," ujar Wakil Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro. Pihaknya menerapkan BK progresif hingga 2017 untuk ekspor beberapa jenis konsentrat mineral supaya menjadi disinsentif ekspor. ***