Langkah Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) yang melarang penjualan BBM subsidi ke kapal nelayan diprotes. Kebijakan itu dianggap merugikan nelayan.
Untuk diketahui, BPH Migas melalui surat yang ditanda tangani Kepala BPH Migas Andy Noorsaman Sommeng Nomor 29/07/Ka.BPH/2014 Tanggal 15 Januari 2014 telah mengeluarkan perintah kepada Pertamina, AKR dan Surya Parna Niaga agar tidak menyalurkan dan tidak melayani penyaluran jenis BBM tertentu (BBM bersubsidi) kepada konsumen pengguna usaha perikanan dengan ukuran kapal di atas 30 gross ton (GT).
Surat itu ditujukan kepada Pertamina, AKR Corporindo dan Surya Parna Niaga (SPN) dengan tembusan antara lain Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Menteri Keuangan Chatib Basri, Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik dan Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutarjo.
“Sangat disayangkan, larangan tersebut dikeluarkan tanpa ada pembicaraan dengan kelompok nelayan. Larangan ini juga tanpa disosialisasikan secara nasional ke pihak pengguna BBM bersubsidi,†ujar Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria kepada
Rakyat Merdeka, kemarin.
Dengan tidak adanya sosialisasi ke para nelayan, menurutnya, kebijakan itu berpotensi menimbulkan masalah bagi para penyalur BBM bersubsidi. Yaitu Pertamina, AKR dan SPN di lapangan. Apalagi penetapan pemberlakuan pelarangan tersebut diterbitkan 4 bulan menjelang Pemilu, yang berpotensi menimbulkan gejolak politis dan kontra produktif dengan tujuan ditetapkannya larangan tersebut.
Sofyano menganggap, kebijakan itu bertentangan dengan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 18 Tahun 2013 tentang Harga Jual Eceran BBM Jenis Tertentu untuk Konsumen Pengguna Tertentu. Pasalnya, pada Permen tersebut tidak secara tegas memuat larangan yang sama dengan perintah BPH Migas itu.
Di sisi lain, Peraturan Presiden (Perpres) No.15 Tahun 2012 tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis BBM Tertentu yang juga dijadikan acuan dari perintah Kepala BPH Migas tersebut menetapkan penyaluran BBM bersubsidi bagi keperluan usaha perikanan hanya untuk kapal dengan maksimal 30 GT.
Namun, setelah timbul protes dari nelayan, kemudian lahir Permen ESDM No.8 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Perpres tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna BBM Tertentu, akhirnya terdapat penetapan dalam Permen tersebut Pasal 3 bahwa Kapal di bawah dan di atas 30 GT dapat menggunakan BBM (bersubsidi), paling banyak 25 kiloliter per bulan.
Sofyano meminta BPH Migas maupun Menteri ESDM Jero Wacik menjelaskan secara terbuka kepada masyarakat, khususnya kelompok nelayan alasan pelarangan penggunaan BBM bersubsidi bagi kapal di atas 30 GT.
“Penjelasan ini diperlukan agar tidak timbul kegelisahan bagi para nelayan, khususnya nelayan yang menggunakan kapal 30 GT. Karena itu, sebaiknya kebijakan BPH Migas tersebut ditunda,†jelas Sofyano.
Ancam DemoKetua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Jawa Barat Ono Surono mengatakan, pelarangan itu merupakan kado kesengsaraan bagi nelayan di tengah kondisi cuaca buruk yang membuat nelayan tidak bisa melaut.
“Di saat kondisi cuaca buruk yang mengakibatkan nelayan tidak bisa melaut, pemerintah justru menambah berat beban nelayan melalui pencabutan BBM subsidi bagi nelayan dengan kapal 30 GT ke atas. Hal ini jangan sampai dibiarkan dan harus ditolak,†tegas Ono.
Rencananya, para nelayan akan melakukan aksi unjuk rasa yang akan dilakukan di Jakarta pada pertengahan pekan depan. Ribuan nelayan dari Indramayu, Cirebon, Tegal, Batang dan seluruh nelayan Pantura yang tergabung dalam Front Nelayan Bersatu (FNB) akan melakukan aksi ke kantor ESDM dan Istana Negara.
Ono menjelaskan, pencabutan subsidi BBM itu telah diumumkan melalui surat yang dikeluarkan BPH Migas. Dalam surat tertanggal 27 Januari 2014 itu disebutkan, kapal nelayan 30 GT ke atas tidak diperkenankan memakai BBM jenis solar bersubsidi. Dampaknya, setelah kebijakan tersebut, nelayan sudah tidak bisa mengisi BBM, sehingga terdapat penumpukan kapal. ***