Dibanding sektor investasi lain, sektor pertanian masih sepi peminat. Risiko yang tinggi membuat investor enggan menanamkan modalnya di Indonesia.
Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Rusman Heriawan mengatakan, investor asing masih tertarik berinvestasi di perkebunan sawit. Namun, mereka keberatan dengan moratorium kepemilikan perkebunan sawit.
“Investor tidak termotivasi karena moratorium,†katanya.
Sedangkan sederet hambatan juga menghadang ketika ingin berinvestasi di sektor lain. Di sektor tanaman pangan dan hortikultura misalnya, investasi terhambat ketiadaan lahan.
Rusman melihat, potensi yang bagus untuk menggarap sektor perbenihan. Namun, masih juga dibutuhkan peraturan yang lebih lengkap karena perbenihan erat kaitannya dengan hak karya cipta atau
copyright.Menurut dia, saat ini industri benih kurang berkembang. Padahal produksi benih lokal cukup diminati sebagai produk ekspor. Sayangnya, itu masih dilakukan perusahaan asing.
“Persoalan pengembangan benih saya sendiri sebenarnya tidak masalah selama itu bermanfaat buat pertanian kita,†katanya.
Rusman menegaskan, pemerintah berkomitmen menerapkan pembatasan investasi asing di sektor pertanian. Pihak asing hanya boleh menguasai maksimal 30 persen dari investasi yang ada dan 70 persen sisanya harus bermitra dengan investor lokal.
Dia mengatakan, calon penanam modal harus mengikuti aturan. Nah, aturan itu yang membuat investor enggan menanamkan modalnya. “Lebih banyak yang keberatan,†ucapnya.
Salah satu pihak yang mengaku keberatan adalah investor Jepang. Alasannya, susah membagi-bagi porsi masing-masing investor. Namun keberatan ini ditanggapi tegas oleh Kementerian Pertanian. “Jika mau masuk, investor mesti mengikuti peraturan yang ada,†tegas Rusman.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertanian (Kementan) Haryono mengatakan, perubahan iklim sangat mempengaruhi kondisi sektor pertanian. Investor harus berhitung cermat jika ingin mendapatkan keuntungan yang bagus dari usaha di bidang ini.
“Jumlah pengusaha di pertanian belum banyak, mereka ingin kepastian usaha,†katanya.
Kondisi infrastruktur yang kurang memadai juga membuat investor enggan menanamkan modalnya. Kendala ini kerap membuat biaya produksi membengkak. Misalnya untuk mengirimkan produk dari sentra produsen ke konsumen. “Pengiriman produk ke Jakarta itu masih sulit,†ungkap Haryono.
Kini distribusi produk semakin lambat karena banyak daerah produsen tergenang air. Pedagang pun memilih jalur alternatif untuk memasarkan produknya. Akibatnya, pasokan pangan yang masuk ke Jakarta juga berkurang.
Selain itu, calon investor, terutama pihak asing juga enggan mengalirkan modalnya karena pembatasan porsi investasi yang hanya 30 persen.
Sekretaris Komite Ekonomi Nasional (KEN) Aviliani menambahkan, persoalan lahan masih akan menjadi penghambat masuknya investasi di sektor pertanian nasional tahun ini.
“Itu sebabnya sektor pertanian hanya tumbuh 4 persen, sedangkan sektor-sektor lainnya bisa tumbuh di atas 5 persen,†kata Aviliani. ***