Keputusan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden/Wakil Presiden harus dilakukan serentak pada 2019 mendapat pertanyaan besar.
Pertanyaannya adalah, mengapa MK tetap menganggap Pemilu yang diselenggarakan secara tidak serentak, termasuk pemilu yang akan dilakukan dalam waktu dekat, dengan segala akibat hukumnya harus tetap dinyatakan sah dan konstitusional?
"Ada kontradiksi interminis, pertentangan logika. Bukankah mereka (MK) sudah mengabulkan gugatan Effendi Gazali dan kawan-kawan? Berarti apa yang diatur UU sekarang kan bertentangan dengan konstitusi," ungkap pakar tata negara, Margarito Kamis, saat diwawancara Rakyat Merdeka Online, Kamis (23/1).
Pertanyaan lainnya, mengapa MK menoleransi hal yang salah masih bisa dilakukan lagi? Margarito tegaskan bahwa keputusan MK itu ambigu. MK masih membiarkan kesalahan untuk dilakukan kembali, walaupun hanya untuk sekali.
Seharusnya, MK memutuskan "terima atau tidak terima" pengujian UU 42/2008 tersebut. Kalau MK mengabulkan bahwa Pemilu harus dilakukan serentak, maka keputusan itu harus segera diberlakukan.
"Hakikat keberadaan MK itu adalah untuk menegakkan konstitusi. Jadi, dasar pertimbangan MK itu bukan soal dampak politik atau dampak sosial, tapi soal menegakkan konstitusi," tegas Margarito.
Menurutnya lagi, dalam putusannya MK bisa menyelipkan pertimbangkan dampak politik dan sosial, tetapi itu hanya bersifat pengayaan. Kalaupun pertimbangan itu dipakai, maka harus dipakai untuk menguatkan dan meluruskan konstitusi.
"Putusan MK ini setengah-setengah, atau ambigu. Satu sisi meluruskan, satu sisi membiarkan kesalahan," tegasnya.
[ald]