Warga Maluku, rakyat Indonesia umumnya pantas bersyukur karena konflik Maluku tahun 1999 berhasil dilalui. Padahal, konflik itu merupakan tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah konflik di Indonesia pasca Orde Baru karena mengorbankan ribuan jiwa.
Demikian disampaikan Ketua Umum Barisan Indonesia (Barindo) Gita Wirjawan di sela-sela Konferensi Pers Produksi Film "Cahaya dari Timur: Beta Maluku" di Ambon, Kamis (16/1).
"Kita bersyukur masa-masa getir tersebut sudah berhasil dilalui. Proses rekonsiliasi masih terus berjalan hingga kini. Ini harus kita rawat bersama. Namun siapa sangka cerita sepakbola anak-anak kampung menjadi salah satu inspirasi penting dalam merajut persaudaraan di tanah Maluku ini," ungkap Gita, yang selalu mengkampanyekan pentingnya melembagakan nilai-nilai pluralisme dalam demokratisasi.
Film yang disutradarai Glenn Fredly dan Angga Dwimas Sasongko ini mengangkat kisah nyata seorang anak Maluku, Sani Tawainella, yang menjahit persaudaraan di kalangan anak-anak Ambon pasca konflik. Sani merupakan mantan pemain sepakbola asal Tulehu yang sempat mewakili Indonesia pada Piala Pelajar Asia 1996 di Brunei Darussalam.
"Pesan film ini sangat universal, Indonesia bahkan dunia harus belajar dari semangat kebersamaan indah yang ditunjukkan anak-anak Maluku. Mereka inilah sesungguhnya cahaya dari Timur, menyalakan bara persaudaraan di tengah terpaan api permusuhan," tutur pemilik Ancora Group ini.
Sementara itu, Sekjend DPP Barindo, Riza Ul Haq, menilai kehadiran film "Cahaya dari Timur" yang disponsori Ancora Foundation ini akan memberikan pembelajaran sangat positif dalam konteks membangun keindonesiaan.
"Cahaya dari Timur itu dulu sempat diidentikkan dengan sosok Habibie namun film ini menguak yang genuin dari anak-anak Maluku. Inspirasi perdamaian untuk Indonesia yang lebih baik. Salut untuk upaya Glenn dan Angga yang bekerja keras mewujudkan film ini," pungkas Produser Eksekutif Film Mata Tertutup (2011) ini.
[zul]