Sumber daya alam dan lingkungan hidup merupakan salah satu modal utama untuk mendukung tercapainya tujuan pembangunan nasional. Perekonomian nasional harus berdasarkan prinsip pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Ali Masykur Musa mengkritisi pembangunan di Indonesia yang masih berkiblat pada aspek modal ekonomi saja.
Aspek kelestarian lingkungan dan pembangunan manusia hanya dipenuhi sebagai unsur formalitas belaka.
“Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang bertujuan untuk mensejahterakan rakyat generasi saat ini tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi mendatang. Konsep ini harus dipegang betul oleh pemimpin Indonesia ke depan,†ujarnya dalam Konferensi Nasional Tata Kelola Hutan dan Lahan di Hotel Aryaduta, Jakarta, Rabu (18/12), malam.
Ali Masykur yang juga Ketua Audit Lingkungan Hidup se-Dunia ini menjelaskan, konsep pembangunan berkelanjutan mensyaratkan keseimbangan tiga dimensi, yaitu pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan upaya perlindungan kelestarian lingkungan hidup.
Aktivitas ekonomi yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan pembangunan sosial, menurutnya, tidak akan berarti banyak bagi pembangunan berkelanjutan jika merusak lingkungan dan menghabiskan sumber daya alam yang tidak terbarukan.
Selain itu, menurut dia, kerusakan lingkungan akan menurunkan derajat kualitas manusia dan lingkungan itu sendiri. Habisnya sumber daya alam akibat kerusakan lingkungan akan menggerogoti nilai pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial.
“Kita hanya akan mewariskan tangis kepada anak cucu, jika dalam pembangunan Indonesia sekarang kita tidak turut memperhatikan aspek lingkungan dan pembangunan komunitas manusia secara berkelanjutan,†jelasnya.
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) telah menyelesaikan kajian yang menganalisis kebijakan perencanaan dan penganggaran nasional dalam pengelolaan hutan dan lahan di Indonesia. Hasilnya, pemerintah kabupaten dalam mengelola hutan dan lahan masih sangat perlu ditingkatkan.
“Kinerja pengelolaan hutan dan lahan di sembilan kabupaten yang kita teliti masih buruk,†ujar peneliti Fitra Hadi Prayitno.
Studi ini meliputi wilayah Sintang, Paser, Muba, Kubu Raya, Mura, Banyuasin, Bulungan, Berau dan Kayong Utara. Kesembilan kabupaten tersebut tersebar di tiga provinsi yakni Sumatera Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat.
Sektor hutan dan lahan memperoleh angka indeks tata kelola terburuk jika dibandingkan dengan sektor pendidikan, kesehatan dan infrastruktur.
“Studi ini menduga, minimnya porsi anggaran yang dialokasikan menjadi salah satu penyebab buruknya tata kelola hutan,†kata Hadi. ***