Berbagai survei terakhir dari Lingkaran Survey Indonesia (LSI) Network, Lembaga Survey Indonesia, dan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menunjukkan suara partai Islam diperkirakan akan semakin merosot ke bawah. Bahkan, jika Pemilu digelar pada hari ini, ada beberapa partai Islam yang kemungkinan besar tidak lolos parliamentary threshold (ambang parlemen).
Menurut Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, hal itu disebabkan beberapa faktor. Misalnya, performa partai Islam semakin hari semakin memudar karena konflik internal yang susah diselesaikan; fenomena korupsi para pimpinannnya; maupun kekaburan visi dari partai Islam bisa dibandingkan partai nasional lainnya.
"Tidak heran jika suara partai Islam terus menurun dan tidak mengalami perkembangan yang menggembirakan. Pada level calon pemimpin nasional pun, dalam banyak survei terakhir, juga tidak tampak ada pimpinan partai Islam yang popularitas dan elektabilitasnya tampil secara meyakinkan,†jelas Burhan yang juga pengajar FISIP UIN Jakarta ini dalam peluncuran Jurnal MAARIF Vol. 8 No. 2 Desember 2013 tentang Ekspresi Politik Umat Islam, kemarin di Gedung FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selain Burhan, peluncuran sekaligus diskusi ini dihadiri Pemimpin Redaksi Jurnal MAARIF, Ahmad Fuad Fanani; dan Sekjen PPP, Romahurmuziy sebagai pembicara. Sementara Wakil Ketua MPR RI Hajriyanto Y Thohari menjadi pembicara kunci.
Meski begitu, rendahnya elektabilitas partai Islam tidak kemudian menurunkan posisi penting Islam dan peta politik Indonesia hari ini. Seperti temuan Sunny Tanuwidjaya dalam risetnya tahun 2010,
Political Islam and Islamic Parties in Indonesia: Critically Assessing the Evidence of Islam’s Political Decline, bahwa isu-isu Islam politik kini juga menjadi perhatian serius oleh partai-partai nasionalis.
Hal itu misalnya tampak pada fenomena dukungan partai-partai nasionalis terhadap agenda perda-perda syariat di berbagai daerah. Juga pada dukungan partai-partai di parlemen terhadap undang-undang yang menjadi aspirasi umat Islam seperti UU Sisdiknas tahun 2003, UU Anti-Pornografi, RUU Zakat, dan sebagainya. Meskipun warna undang-undang itu masih bisa diperdebatkan apakah mewakili suara moderat atau justru mewakili kaum Islamis, tapi jelas bahwa ada warna Islam yang dimainkan.
Jelang tahun 2014 semakin menunjukkan bahwa ekspresi politik Islam tidak tunggal. Dinamika politik Islam dan Islam politik teruslah bergulat. Pada momen-momen politis inilah, keduanya bertarung dan bertaruh untuk memerjuangkan agenda politiknya. "Temuan riset dan survei terbaru terkait dengan Islam politik dan Politik Islam itulah yang mendasari terbitnya Jurnal MAARIF Vol. 8 No. 2 Desember 2013 tentang Ekspresi Politik Umat Islam," jelas Fuad.
Sebelumnya Fuad menjelaskan, Islam politik adalah kelompok umat Islam yang menginginkan penerapan syariat Islam secara formal, meyakini Islam sebagai keyakinan hidup (belief system) yang sempurna, dan mencita-citakan berdirinya sistem Islam atau Islamic state.
“Kelompok ini bisa berbentuk ormas seperti MMI, HTI, dan Tarbiyah, namun bisa juga dalam bentuk partai Islam seperti PPP dan PBB yang hingga kini getol untuk memerjuangkan penerapan syariat Islam secara formal dalam Konstitusi Indonesia ketika amandemen UUD 1945 tahun 2002 lalu," imbuhnya.
Di sisi lain, kelompok politik Islam, cenderung menyerukan pemahaman dan aspirasi politik Islam yang lebih moderat. Kelompok ini direpresentasikan oleh organisasi Islam moderat Muhammadiyah dan NU. Pada bagian lain, kelompok ini juga diwakili oleh partai-partai yang berbasiskan organisasi Islam, tapi berdasarkan visi kebangsaan, seperti Partai Amanat Nasional dan Partai Kebangkitan Bangsa.
[zul]