Larangan ekspor mineral mentah di tengah melemahnya rupiah diprediksi mengakibatkan defisit neraca transaksi berjalan hingga 2,8 persen dari total produk domestik bruto (PDB) 2014.
“Ketika kebijakan tersebut dijalankan di awal 2014, akan berimbas pada nilai tukar rupiah yang semakin negatif. Ini beraki-bat pada defisit neraca transaksi berjalan,†kata Wakil Direktur Reforminer Institute Komaidi Notonegoro di Jakarta, kemarin.
Nilai rupiah terhadap dolar AS saat ini memang anjlok. Selain karena dipengaruhi kebijakan makro global seperti pengurangan stimulus, pelemahan rupiah berkaitan juga dengan perlambatan ekonomi domestik dan defisit transaksi berjalan.
Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Bambang Brodjonegoro mengakui, penerimaan ekspor nasional akan menurun jika Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba) diimplementasikan tahun depan. Kendati demikian, dia yakin itu tidak akan memperlebar defisit neraca transaksi berjalan.
Bambang mengakui, penerapan larangan ekspor minerba yang belum diproses memang akan mengurangi potensi penerimaan ekspor tahun depan sekitar 4-5 miliar dolar AS. “Kelihatannya defisit perdagangan dari minerba pada tahun depan masih cukup besar, yakni mencapai 9,9 miliar dolar AS,†ungkapnya.
Menko Perekonomian Hatta Rajasa pernah mengakui larangan ekspor mineral mentah akan memicu lonjakan pengangguran. Pemerintah hingga kini belum menentukan langkah antisipasi terjadi pengangguran tersebut.
Koordinator Presidium Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Mahfud MD mengungkapkan, dalam lima tahun terakhir ini pemerintah tidak serius mempersiapkan pelaksanaan UU Minerba sebagai upaya peningkatan nilai tambah di dalam negeri. Hal ini menimbulkan ketidakpastian dan keresahan bagi industri pertambangan hulu hilir di tanah air.
Semua perusahaan Kontrak Karya seperti PT Newmont Nusa Tenggara dan PT Freeport Indonesia maupun pemegang IUP, bakal tutup operasi.
“Kondisi ini bakal membahayakan eksistensi pemerintah. Penggangguran, penurunan penerimaan pajak, dan PAD akan terjadi secara masif. Ini bisa memicu kerusuhan sosial. Padahal, tahun depan Indonesia membutuhkan kondisi yang kondusif menjelang pemilihan umum,†katanya.
Mahfud mengatakan, pemerintah perlu mencari jalan keluar agar dampak masif itu bisa diantisipasi. UU Minerba tidak bisa dilaksanakan secara konsisten dan utuh pada 12 Januari 2014. Karena itu, solusi seperti mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) merupakan salah satu jalan keluar terbaik untuk mengantipasi dampak tersebut.
800 Ribu Tenaga Kerja NganggurWakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Natsir Mansyur menyatakan, pertumbuhan ekonomi daerah diperkirakan akan mengalami lambat akibat penerapan UU Minerba.
Menjurut Natsir, selama ini pergerakan ekonomi daerah masih dipengaruhi bisnis tambang mineral, karena pemegang izin, kontrak karya (KK), Izin Usaha Pertambangan (IUP) hingga Izin Pertambangan Rakyat (IPR) ada di daerah. Oleh karena itu, perlu kebijakan tepat membenahi permasalahan yang akan dihadapi.
“Kami berharap DPR bersama pemerintah dan pengusaha minerba mencari solusi akibat pemberlakuan Undang-Undang Minerba. Yang terpenting bagaimana menahan 800 ribu tenaga kerja yang akan menganggur baik yang terlibat langsung maupun yang tidak langsung dalam bisnis pertambangan minerba ini,†tegas Natsir.
Dia mengatakan, selain pekerja, yang akan menerima imbas dari pemberlakuan UU Minerba itu mulai dari kontraktor, suplier hingga masyarakat sekitar penambangan.
“Kita khawatirkan pula ada kebangkrutan pengusaha tambang yang tidak bisa kembalikan pinjaman di bank serta setoran pajak nasional dan daerah akan terhenti untuk mendukung pertumbuhan ekonomi,†kata Natsir.
Menurut dia, program hilirisasi harus dan perlu didukung untuk kepentingan nasional. Namun, perlu persiapan dan perencanaan yang matang sehingga didalam pelaksanaannya tidak memakan korban yang banyak. ***