Berita

FOTO/RMOL

Politik

Soekarno, Antara Fakta Sejarah dan Layar Lebar

Oleh: Rudi Hartono*
MINGGU, 15 DESEMBER 2013 | 17:18 WIB

AKHIRNYA Soekarno bisa hadir di layar lebar. Sejak 11 Desember lalu, film Soekarno: Indonesia Merdeka, resmi diputar dan beredar di bioskop-bioskop seluruh Indonesia.

Sejauh ini, film garapan sutradara Hanung Bramantyo itu mendapat sambutan positif. Banyak merasa puas dengan penggambaran sosok Soekarno dalam film itu. Bagi mereka, film itu sudah menghadirkan plus-minus Soekarno ke khalayak.

Namun, kritik terhadap film itu tetap diperlukan. Pertama, setiap film biografi, termasuk film Soekarno, punya tanggung-jawab besar: menghadirkan fakta sejarah se-objektif mungkin. Kedua, setiap film biografi tidak terlepas dari interpretasi sejarah si pembuatnya.


Saya sendiri punya beberapa catatan kritis terhadap film itu: pertama, soal kurun waktu film itu; kedua, Soekarno dan fasisme Jepang; dan ketiga, Soekarno dan pelacur; keempat, peristiwa seputar Proklamasi Kemerdekaan; dan kelima, peranan Jepang dalam Proklamasi Kemerdekaan.

Menuangkan kehidupan seorang tokoh ke layar lebar bukanlah perkara gampang. Itu seperti menuangkan seember air ke gelar kecil. Sudah pasti, film hanya menangkap potongan-potongan peristiwa penting saja.

Padahal, perjalanan seorang tokoh bukanlah peristiwa yang terpotong-potong satu sama lain. Melainkan ada saling keterhubungan, saling mempengaruhi, juga ada pertentangan di dalamnya, yang menghasilkan sebuah perkembangan.

Itu juga problem terbesar dalam film Soekarno. Saya kira, kurun waktu film Soekarno sangat jelas: 1901 (kelahiran Soekarno)- 1945 (Proklamasi Kemerdekaan RI). Di film itu, kejadian-kejadian yang dipilih untuk ditampilkan juga sangat sedikit dan tidak berimbang.

Kita mulai dari Soekarno lahir hingga beranjak dewasa. Yang ditonjolkan hanya tiga: pertama, perubahan nama dari Kusno ke Soekarno; Soekarno indekos di rumah HOS Tjokroaminoto bersama Kartusuwirjo; dan ketiga, Soekarno jatuh cinta kepada seorang perempuan Belanda, Mien Hessels.

Yang menjadi masalah, kejadian yang paling disorot di kurun wakut itu adalah saat Soekarno jatuh cinta kepada Mien Hessels. Sementara kehidupan Soekarno selama indekos di rumah HOS Tjokroaminoto hanya sekilas. Padahal, seperti diakui Soekarno sendiri, rumah tokoh pimpinan SI itu merupakan “dapur nasionalisme” yang turut membentuk dan mematangkan pemikiran politik awal Soekarno.

Tidak ada kejadian ketika Soekarno menjadi aktivis pemuda; menjadi ketua Studieclub, lalu menjadi aktivis Tri Koro Darmo-yang kelak berganti nama menjadi Jong Java. Juga, saat itu Soekarno tampil sebagai penulis berbakat. Ia menulis 500-an artikel untuk koran SI, Oetoesan Hindia.

Pemangkasan itu punya implikasi: seolah-olah ketokohan Soekarno dalam dunia pergerakan diturunkan dari langit [tiba-tiba]. Seakan-akan wejangan HOS Tjokroaminoto menjadi "faktor tunggal" yang membuat Soekarno menjadi aktivis politik yang matang dan sanggup menguasai massa.

Kemudian di era pembuangan. Yang ironis, era pembuangan Soekarno yang paling disorot adalah Bengkulu. Kenapa? Karena di sana ada kisah percintaan dengan seorang perempuan bernama Fatwawati. Padahal, Soekarno pernah dibuang ke Ende, Flores, NTT. Saya kira, di banding pembuangan di Bengkulu, pengalaman Soekarno di Ende jauh lebih kaya pengalaman dan mempengaruhi gagasan politik Soekarno bagi bangsa ini.

Di Ende, Soekarno yang terasing berusaha merangkul rakyat dengan membentuk kelompok sandiwara. Namanya ‘Kelompok Sandiwara Kalimutu’. Para pemainnya adalah penduduk dan anak-anak setempat, yang terkadang belum bisa berbahasa Indonesia. Di situ, antara 1934-1938, Soekarno melahirkan 12 naskah Drama. Yang terkenal adalah Dokter Setan, yang diadopsi dari Mary Shelley, Frankenstein.

Selain itu, di Ende pula Soekarno bersentuhan dengan pastor-pastor. Ia sering berdiskusi dengan mereka. Kemudian, di tengah-tengah kesepian yang dirasakannya, Soekarno sering merenung. Di situlah ia menggali pemikirannya tentang Pancasila.

Saya sendiri tidak tahu alasan Hanung menonjolkan Bengkulu. Bahkan dalam durasi yang panjang. Kalau motifnya hanya mau menonjolkan “percintaan” Soekarno-Fatmawati, berarti Hanung secara sadar telah mereduksi Soekarno.

Periode selanjutnya yang sangat menonjol, bahkan dominan, adalah era fasisme Jepang. Dalam sejarah, inilah era yang ‘sensitif’ dalam perjalanan hidup Soekarno. Saat itu, karena mengambil jalan legal, yakni kerjasama dengan Jepang untuk mencapai Indonesia Merdeka, maka Soekarno dianggap kolaborator Jepang.

Ini juga saya kira cukup janggal. Kenapa periode Jepang yang ditonjolkan dan bukannya periode 1920-an dan 1930-an? Sebab, seperti diakui oleh Oghokham, periode 1920an merupakan era paling produktif dan kreatif bagi Soekarno sebagai pemikir. Di periode itulah semua pemikiran pentingnya dilahirkan, seperti marhaenisme, sosio-nasionalisme, dan sosio-demokrasi. Di periode itu pula ia melahirkan dua karya besar: Nasionalisme, Agama, dan Marxisme dan Mencapai Indonesia Merdeka.

Selain itu, periode 1920-an dan 1930-an adalah periode Soekarno bergerak. Di periode inilah Soekarno mengisi kepemimpinan politik dalam panggung pergerakan pasca pemberontakan PKI 1926/1927. Hampir semua tokoh-tokoh pergerakan awal, seperti Semaun, Alimin, Musso, Semaun, dan lain-lain, berada di pembuangan atau pengasingan pasca kegagalan pemberontakan 1926/1927.

Apa motif Hanung menonjolkan periode Jepang sembari mengabaikan periode 1920-an dan 1930-an? Hanya Tuhan dan Sponsor film yang tahu. (Bersambung)

* Penulis adalah aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD). Tulisan ini pertama kali dimuat di Berdikari Online. Pemuatan di Rakyat Merdeka Online atas izin penulis.

Populer

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

UPDATE

Menhut Kebagian 688 Ribu Hektare Kawasan Hutan untuk Dipulihkan

Rabu, 24 Desember 2025 | 20:14

Jet Militer Libya Jatuh di Turki, Kepala Staf Angkatan Bersenjata Tewas

Rabu, 24 Desember 2025 | 20:05

Profil Mayjen Primadi Saiful Sulun, Panglima Divif 2 Kostrad

Rabu, 24 Desember 2025 | 19:46

Nutrisi Cegah Anemia Remaja, Gizigrow Komitmen Perkuat Edukasi

Rabu, 24 Desember 2025 | 19:41

Banser dan Regu Pramuka Ikut Amankan Malam Natal di Katedral

Rabu, 24 Desember 2025 | 19:33

Prabowo: Uang Sitaan Rp6,6 Triliun Bisa Dipakai Bangun 100 Ribu Huntap Korban Bencana

Rabu, 24 Desember 2025 | 19:11

Satgas PKH Tagih Denda Rp2,34 Triliun dari 20 Perusahaan Sawit dan 1 Tambang

Rabu, 24 Desember 2025 | 18:43

Daftar 13 Stafsus KSAD Usai Mutasi TNI Terbaru

Rabu, 24 Desember 2025 | 18:36

Prabowo Apresiasi Kinerja Satgas PKH dan Kejaksaan Amankan Aset Negara

Rabu, 24 Desember 2025 | 18:35

Jelang Malam Natal, Ruas Jalan Depan Katedral Padat

Rabu, 24 Desember 2025 | 18:34

Selengkapnya