Rencana merger Perusahaan Gas Negara (PGN) dengan Pertagas (anak perusahaan Pertamina) bukan solusi terbaik mengatasi masalah pengelolaan gas.
“Rencana itu justru berbahaya karena dapat membuka akses pengelolaan gas melalui infrastruktur yang ada tanpa mengembangkan jaringan baru dan menimbulkan rente penjualan gas,†kata peneliti dari Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi di Jakarta, kemarin.
Ia berpendapat, upaya Pertamina terkait penyelesaian konflik dengan PGN di 11 pipa yang berada di Jawa Barat dan Jawa Timur tidak efektif. Dia menganggap, yang dilakukan Pertamina itu bukan merger, melainkan pengambilalihan (akuisisi) PGN oleh Pertagas.
“Akuisisi umumnya dilakukan perusahaan yang lebih besar terhadap perusahaan yang lebih kecil. Ini jadi anomali, masak Pertagas yang asetnya lebih kecil mencaplok PGN yang memiliki aset jauh lebih besar,†ujarnya.
Merujuk data Bursa Efek Indonesia (BEI), saat ini kapitalisasi saham PGN di pasar bursa mencapai Rp 115 triliun. Pemerintah memiliki 56,97 persen saham dan 43,03 persen milik publik. Artinya, jika Pertamina akan membeli saham pemerintah yang ada di PGN, perseroan itu mesti menyiapkan dana minimal Rp 70 triliun atau setara dengan 56,97 persen saham.
Menurut Fahmy, dana Pertamina akan jauh lebih produktif jika digunakan untuk membiayai usaha pengeboran dan pembangunan kilang minyak, sehingga tidak perlu membebani APBN.
Direktur Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Uchok Sky Khadafi menambahkan, jika Pertamina mengakuisisi PGN, bisa terjadi kemunduran dalam tata kelola migas.
“Ini ancaman. Pertamina ingin menjadi trader kembali membuat
Good Corporate Governance (GCG) yang selama ini dibangun menjadi mundur. Pertamina ingin seperti dulu lagi, menguasai sumber migas,†ucap Uchok.
Untuk itu, baik Fahmy maupun Uchok berpendapat, lebih baik jika Pertamina hanya akan fokus menggarap bisnis minyak. Sebab, dengan masuknya Pertamina dalam bisnis pengelolaan gas, persaingan antara PGN dengan Pertamina sudah mengarah pada perseteruan sengit dan merugikan banyak pihak.
Akibat perseteruan dua BUMN tersebut, terjadi masalah dalam persinggungan pipa pada 11 titik di area Jawa Barat dan Jawa Timur yang menimbulkan keberatan dari Pertagas, sehingga menghambat pengembangan jaringan pipa yang sedang dibangun PGN.
“Sangat disayangkan, kondisi perseteruan justru menguntungkan
trader non infrastruktur (broker) yang mendompleng salah satu pihak,†ujar Uchok. ***