Konflik berkepanjangan mengenai penggunaan bersama pipa gas masih terus bergulir. Pemerintah hingga kini belum dapat mengatasi hal itu, sementara DPR terbelah. Ada yang minta agar monopoli gas dihapuskan. Namun, ada pula yang meminta agar kebijakan open access tersebut ditunda.
Wakil Ketua Komisi VII DPR Zainuddin Amali mengatakan, konflik itu muncul karena selama ini Perusahaan Gas Negara (PGN) menguasai hampir seluruh jaringan pipa gas di Indonesia.
“Sekarang muncul lagi wacana penggunaan pipa bersama menimbulkan liberalisasi sektor gas,†ujarnya, kemarin.
Menurut Amali, asumsi liberalisasi itu sama sekali tidak tepat karena penggunaan pipa bersama justru menghilangkan praktik monopoli gas dan menguntungkan pengguna gas karena bisa mendapatkan harga yang bersaing. Praktik monopoli distribusi gas yang saat ini terjadi justru merugikan negara dan menguntungkan pihak asing.
“Bagaimana mau menyebut bahwa penggunaan pipa bersama itu liberalisasi, justru asing yang menguasai 45 persen saham PGN akan diuntungkan kalau praktik saat ini tetap dilanjutkan,†ujarnya.
Yang paling penting saat ini, kata dia, kepentingan negara yang menjadi fokus utama. Fokus setiap kebijakan pemerintah adalah untuk bangsa dan negara.
Sementara itu, anggota Komisi VII DPR Dito Ganinduto meminta agar kebijakan open access tersebut dikaji secara mendalam. Dia mengingatkan, jangan sampai kebijakan tersebut memukul BUMN seperti PGN. Prinsipnya, setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah harus mengutamakan kepentingan dalam negeri. Baik itu, konsumen, BUMN atau pebisnis.
Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Andy Noorsaman Sommeng mengatakan, kebijakan penggunaan pipa bersama akan menguntungkan semua pihak karena bisnis gas berjalan adil dan dapat dipertanggungjawabkan.
Konsumen akhir gas seperti industri dan pembangkit listrik akan mendapat keuntungan dari kepastian pasokan gas. Lalu, pemilik pipa seperti PGN dan Pertagas akan memperoleh tambahan pendapatan dari toll fee, karena pipa terpakai sesuai kapasitasnya secara maksimal.
Kemudian, pedagang (trader) gas akan berkompetisi secara sehat dalam mencari pasar dan juga sumber gas. Demikian pula, pemasok gas yakni Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) akan mendapat harga jual gas terbaik.
Direktur Gas BPH Migas Umi Asngadah menambahkan, seharusnya tidak ada penolakan terkait kebijakan pipa bersama karena selama ini pipa gas yang ada juga dibiayai APBN.
“Membangun infrastruktur gas memang mahal, akan tetapi perlu diingat selama ini pembangunan jaringan pipa oleh PGN dibangun berdasarkan fasilitas dana pemerintah,†ujar Umi.
KPPU Kaji Open AccessKomisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sedang memprioritaskan pengawasan pada lima sektor usaha. Komisioner KPPU Kamser Lumbanradja mengatakan, salah satu prioritas adalah sektor energi, termasuk masalah open access pipa gas. “Kami sedang mengkaji open access ini, apakah menguntungkan masyarakat, transporter atau ada kepentingan broker. Ini harus jelas,†ujarnya, kemarin.
Kamser mengatakan, berdasarkan pengalaman di berbagai negara di dunia, keberadaan infrastruktur khususnya di sektor energi memang dibangun dan dikuasai negara, kendati bisa saja nantinya diliberalisasi. Namun, liberalisasi infrastruktur bisa berjalan ketika infrastruktur sudah terintegrasi.
Ketua Tim Regulasi PT Perusahaan Gas Negara Tbk (Persero) Antonius Aris mengatakan, isu open access yang terus berkembang saat ini sebenarnya tidak diatur dalam regulasi. Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 19 Tahun 2009 tentang Kegiatan Usaha Gas Bumi Melalui Pipa hanya mengamanatkan kepada PGN untuk unbundling, yakni memisahkan antara usaha niaga dan transporter.
Sementara itu, Direktur Pengkajian Energi Universitas Indonesia (UI), Iwa Garniwa mengimbau Kementerian ESDM meninjau ulang Permen ESDM Nomor 19 Tahun 2009 karena aturan itu mengarah pada liberalilasi sektor hilir migas. ***