SINGAPURA adalah salah satu negara dengan jumlah diaspora Indonesia terbanyak di dunia. Penata laksana rumah tangga (PLRT) di Singapura mencapai sekitar 11.000. Total WNI di Singapura tercatat 198.310 jiwa, terdiri atas 105.000 TKI informal, 21.000 pelaut, 24.000 pelajar dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, 8.000 profesional dan 29.000 di sektor lainnya. Ini membuat komunitas Indonesia di Singapura cukup dinamis dari waktu ke waktu.
Di Singapura, mungkin saya lebih sering mendengarkan alunan lagu kebangsaan Singapura, "Majulah Singapura" dibandingkan "Indonesia Raya". “Kamu masih hafal kan lagu kebangsaan kita?†demikian pertanyaan yang sering diajukan kerabat saya di kampung halaman.
Ya, sebuah pertanyaan jenaka, ringan tapi menyentil hati saya untuk mengutarakan pendapat, Kenyataannya, masih sangat banyak para pemuda yang bangga dan cinta Indonesia. Ini terlihat dari manifestasi aktivitas kami, pelajar Indonesia di Singapura yang senantiasa bernafaskan nasionalisme. Mulai dari promosi kebudayaan Indonesia, hingga konferensi kepemudaan setiap tahunnya.
Anggaran KBRI yang kian surut, tidak menyurutkan motivasi para pemuda untuk menggalang program Indonesian Arts Festival 2013. Festival seni akbar tersebut dihadiri oleh 1300 penonton, di teater paling bergengsi di Singapura, Esplanade Theatre. Selain itu, training yang kami, PPI Singapura, berikan kepada para PLRT di Singapura adalah wujud kepedulian anak bangsa untuk pahlawan devisa. Yang tidak kalah menarik, di akhir tahun 2013, PPI se-ASEAN akan bertatap muka dalam sebuah konferensi ISAC (Indonesian Students’ ASEAN Conference), memberikan terobosan baru dengan orientasi Indonesia siap akan ASEAN Economic Community 2015. Kerjasama PPI ASEAN-BNP2TKI untuk pembuatan buku saku TKI se-ASEAN adalah salah satu contoh kontribusi konkret kita untuk Indonesia.
Masih banyak sekali contoh konkret lainnya yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu. Intinya adalah, walaupun kami berdomisili di Singapura, hati kami tetap Indonesia. “You can always take us out of Indonesia, but you can never take Indonesia from usâ€. Meskipun kami di Singapura, ketika dada kami dibelah, maka akan berkibar bendera merah putih. Meskipun lagu "Majulah Singapura" lebih sering kami dengar, tapi harapan kami di HUT RI yang ke-68 dan Hari Sumpah Pemuda ke-85 ini adalah “Majulah Indonesia!â€.
Para pemuda Indonesia di Singapura tentu punya segudang harapan untuk bangsa tercinta. Semoga dengan tulisan ini, hati pemerintah dan kita semua tersentuh untuk bertindak. Akan tetapi sebelum untuk masuk ke ranah tersebut, ada baiknya kita paham mengapa Singapura menjadi destinasi yang menarik bagi WNI. Menurut pengamatan saya, ada 2 alasan utama (tidak ekshaustif). Karena krisis ekonomi 1998 dan ekspektasi prospek ekonomi yang lebih mapan.
Krisis 1998 menuntut Indonesia yang lebih toleran, karena jujur saja kita masih terseparasi oleh etnis. Ahok menjadi wakil gubernur DKI Jakarta saja sudah banyak huru-hara di seantero Indonesia. Singkat kata, bangsa Indonesia belum bersatu. Lucunya adalah sekarang banyak masyarakat yang menggunjing banyak kaum tersebut lari ke luar negeri, padahal mereka sendiri yang membuat stereotipe seperti itu. Ini perlu menjadi perhatian kita semua.
Ketika diaspora Indonesia ingin pulang ke kampung halaman, ada perbedaan ekspektasi yang menjadi konflik batin. Yaitu prospek kerja dan gaji yang sangat berbeda antara di Indonesia dan di luar negeri. Contoh, di Singapura, guru adalah posisi yang bergengsi dan bahkan memiliki gaji yang tidak kalah dengan engineer (sekitar SGD 3,000 atau Rp 27 juta).
Tapi bagaimana dengan kondisi Indonesia?
Masyarakat masih menganggap guru adalah profesi yang ‘kurang bergengsi’, gajinya mungkin sekitar Rp 2.5 juta-Rp 10 juta. Lalu, apakah diaspora Indonesia siap untuk pulang kampung dengan menerima kenyataan seperti itu? Ilmuwan di Singapura kesejahteraannya sangat didukung oleh pemerintah Singapura. Selain itu, peluang S3 sangat terbuka luas.
Bagaimana dengan di Indonesia?
Lulusan SMA saja menganggap jurusan FMIPA kalah pamor dibanding Teknik. Belum perihal penghasilan. Ini juga menjadi perhatian pemerintah dan juga seluruh kalangan masyarakat.
Mayoritas diaspora ingin pulang, itu pasti. Hanya saja cerita diatas adalah kondisi penghambat yang nyata di lapangan. Butuh sedikit sentilan nasionalisme dan rasa rela berkorban untuk kembali ke Indonesia, dan itulah peran PPI-sebagai fungsi kontrol dan proteksi nasionalisme para pelajar di luar negeri.
Belajar dari motif-motif inilah kita bisa menjawab apa kebutuhan para diaspora, yaitu Indonesia yang toleran (Bhinneka Tunggal Ika) dan mampu menjembatani prospek yang diharapkan oleh mereka. Saya secara pribadi yakin faktor yang kedua hanyalah gap informasi. Sebagai contoh, mengapa kita tidak menggunakan tenaga ahli diaspora saja, untuk mengganti karyawan-karyawan asing? Tidak sedikit pula lapangan kerja di Indonesia yang cukup menjanjikan, hanya saja informasi itu tidak terdengar di luar negeri. Bahkan untuk bisnis, 250 juta penduduk Indonesia sudah sangat cukup untuk menarik perhatian mereka untuk balik ke Indonesia. Jadi, kuncinya adalah sosialisasi dan cara memasarkan Indonesia yang baik kepada diaspora.
Berbicara sedikit tentang cara memasarkan, kawan saya, Najieb, mantan Ketua Umum Pelajar Malaysia di Indonesia berkomentar bahwa sumber daya alam Indonesia sangat kaya namun sangat disayangkan pariwisata Indonesia oleh turis-turis asing masih belum digali secara maksimal dan masih jauh dari negara-negara tetangga (Singapura dan Malaysia).
Apa yang menjadi faktor penghambat ?
Indonesia tidak mampu memasarkan kekayaan itu. Ibaratnya seperti calon politikus yang sangat handal dan mumpuni. Tapi kalau dia tidak bisa berkampanye dan punya citra yang bagus di masyarakat, bagaimana dia bisa dipilih.
Masih ada lagi beberapa aspirasi dari para pelajar Indonesia di Singapura. Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa mahasiswa Indonesia di Singapura banyak yang juga juara olimpiade internasional. Mereka mendapatkan beasiswa dari Dikti (Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi) Kementrian Pendidikan & Budaya Republik Indonesia untuk bisa kuliah di luar negeri. Kondisi nyata di lapangan menunjukkan betapa lama nya para mahasiswa harus menunggu turunnya beasiswa tersebut.
Padahal, isu ini menghambat proses belajar mereka. Sebagai contoh di NTU (Nanyang Technological University), mahasiswa tidak dapat melihat transkrip nilainya apabila belum bayar biaya pendidikan. Belum lagi perihal ujian sekolah. “Ini menjadi kecemasan sendiri bagi saya. Bahkan prosedurnya seolah-olah dipersulit. Nominal beasiswa pun tidak disesuaikan dengan kenaikan kurs dolar Singapura dan Rupiahâ€, keluh Ageng Setyo Tutuko, peraih medali perak IOAA 2010.
Saya menghimbau Diknas bergerak demi kesejahteraan mereka, pengharum nama bangsa di kancah internasional. Harapan selanjutnya adalah aspirasi dari para PLRT di Singapura. Seperti biasa, isu selalu berputar pada pembuatan Kartu Tenga Kerja Luar Negeri (KTKLN). Prosedurnya yang berbelit-belit dan bahkan cenderung memainkan TKI menjadi keperhatinan kita semua. Semoga kedepannya BNP2TKI maupun jajaran lainnya yang terkait bisa lebih memberikan pelayanan kepada para pahlawan devisa negara. Tidak hanya pemerintah, PPI, KBRI dan elemen masyarakat lainnya perlu bergerak sebagai fungsi kontrol atas kondisi mereka.
Untuk mempercepat reaksi kimia, salah satu katalisator adalah dengan memecah reaktan menjadi partikel-partikel kecil. Kemudian partikel-partikel tersebut diorkestrasi menuju satu tujuan. Analogi ini tepat untuk Indonesia maju. Untuk mempercepat kemjuan Indonesia, kita tidak bisa semata-mata mengandalkan pemerintah saja.
Akan tetapi, kita semua, seluruh komponen masyarakat harus bersatu membangun bangsa, sesuai kapabilitas kita masing- masing, apakah Anda pelajar ataupun professional. Akhir kata, semoga sedikit goresan tangan ini dapat bermanfaat dan menjadi sumber inspirasi untuk kita semua, untuk Indonesia maju. Salam Pemuda! [***]
Gerry AnggaciptaPresiden PPI Singapura 2013/2014
Koordinator PPI Kawasan ASEAN