Berita

ilustrasi

Bisnis

Sindikat Dagang Gula Ilegal Di Perbatasan Kian Meresahkan

Kerugian Mencapai Rp 165 Miliar, Kemendag Belum Bertindak Serius
MINGGU, 03 NOVEMBER 2013 | 09:17 WIB

Peredaran gula ilegal yang terjadi di daerah perbatasan Indonesia, khususnya di Kalimantan makin merajalela. Aparat penegak hukum diminta serius menangani
masalah ini.

Melihat kondisi itu, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Natsir Mansyur menyarankan agar daerah perbatasan diberikan izin impor untuk mencegah maraknya peredaran gula ilegal. Selain memenuhi kebutuhan, importasi khusus bagi kawasan perbatasan akan memberikan tambahan pemasukan pajak bagi negara.

“Aparat di perbatasan bisa melegalkan kebijakan impor gula dengan menggunakan pos lintas batas. Menteri Dalam Negeri selaku Ketua Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) kan bisa membenahi masalah ini. Rakyat di perbatasan merupakan bagian dari NKRI yang juga memiliki hak untuk menikmati gula murah, bukan diberikan gula mahal,” ujar Ketua Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu Indonesia (Apgeti) ini.

“Aparat di perbatasan bisa melegalkan kebijakan impor gula dengan menggunakan pos lintas batas. Menteri Dalam Negeri selaku Ketua Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) kan bisa membenahi masalah ini. Rakyat di perbatasan merupakan bagian dari NKRI yang juga memiliki hak untuk menikmati gula murah, bukan diberikan gula mahal,” ujar Ketua Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu Indonesia (Apgeti) ini.

Ketua Koalisi LSM Kalimantan Barat (Kalbar) Bersatu Usman Almuthahar mendesak Kapolri Jenderal Sutarman mengerahkan jajarannya memberantas perdagangan gula ilegal di Kalbar. Sebab, aksi itu sudah berlangsung lebih dari 10 tahun, tentu merugikan negara dan masyarakat Kalbar.

“Harus ada tindakan tegas. Kami lihat kejahatan ini sudah terorganisir karena berlangsung bertahun-tahun tapi tidak pernah diungkap,” tegas Usman seusai melayangkan laporan ke Mabes Polri, Jumat (1/11).

Usman yang juga salah satu ketua asosiasi gula di Kalbar itu mengakui, sebenarnya sudah ada aksi penangkapan yang dilakukan TNI AD, BAIS (Badan Inteligen Strategis) dan Polri, tetapi tidak pernah tuntas.

Sebenarnya, kata dia, penangkapan kapal gula kristal putih (GKP) selundupan berisi 160 karung dari Tiongkok, Thailand dan Vietnam bisa menjadi pintu masuk untuk membongkar sindikat perdagangan gula ilegal di Kalbar.

Kondisi makin parah tatkala gula ilegal yang tidak layak konsumsi itu dikemas dengan karung palsu merek Industri Gula Nasional (IGN) dan menggunakan dokumen ilegal.

Usman mencatat, dalam 16 bulan terakhir kerugian negara dari perdagangan gula ilegal yang jumlahnya mencapai 88 juta kg di Kalbar mencapai Rp 156 miliar. Angka itu diperoleh dari hilangnya pendapatan dari pajak impor, pajak pertambahan nilai 10 persen, pajak penghasilan 2,5 persen dan Sucofindo Rp 28 per kg untuk sertifikasi layak edar. Totalnya sekitar Rp 1.700 per kg yang digelapkan.

“Dengan beredarnya gula ilegal yang tidak layak konsumsi ini berbahaya bagi masyarakat. Semestinya aparat kepolisian bertindak cepat,” katanya.

Atas dasar itulah pihaknya mendesak Kapolri berani menindak tegas pelaku perdagangan gula ilegal dengan mengambil langkah penahanan kepada para pelaku yang terlibat. Pasalnya, pelaku kerap tidak tersentuh oleh aparat penegak hukum.

Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Bayu Krisnamurthi mengklaim peredaran gula ilegal di wilayah perbatasan saat ini cukup kecil. Sebab, pelaku telah mengetahui apa yang dilakukan juga merupakan perbuatan yang melanggar hukum.

“Mereka tidak berani secara terbuka dan kami akan membuat suatu sistem yang bisa mempersempit tindakan ilegal mereka,” tegas Bayu.

Meski begitu, Bayu mengungkapkan Kementerian Perdagangan (Kemendag) akan mendorong peningkatan koordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk menambah pasokan kebutuhan bahan pokok, khususnya untuk wilayah perbatasan.

“Kami telah melakukan koordinasi seperti pada produk gula dan membuat solusi dengan kebijakan khusus importasi gula mentah untuk kepentingan wilayah perbatasan,” terangnya.

Berdasarkan data Kemendag, dalam 6 bulan ditemukan 307 produk yang melanggar peraturan perundang-undangan. Sayangnya, hukum masih tumpul untuk menyikat habis produk-produk ilegal serta pelakunya.  “Proses hukum ternyata lambat, karena diikuti pengumpulan fakta dan pembuktian,” ungkap Bayu.

Menurutnya, temuan itu adalah temuan yang terbesar dalam 6 bulan belakangan. Pasalnya, sejak 2011 sampai saat ini pihaknya telah menemukan 1.028 produk ilegal.

 â€œSaya kira terjadi peningkatan pesat dari sisi penemuan barang ilegal bukan dari jumlah barang yang beredar,” tandasnya. [Harian Rakyat Merdeka]

Populer

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Tamparan bagi Negara: WNA China Ilegal Berani Serang Prajurit TNI di Ketapang

Sabtu, 20 Desember 2025 | 09:26

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

Tunjuk Ara di Depan Luhut

Senin, 15 Desember 2025 | 21:49

UPDATE

Perbankan Nasional Didorong Lebih Sehat dan Tangguh di 2026

Senin, 22 Desember 2025 | 08:06

Paus Leo XIV Panggil Kardinal di Seluruh Dunia ke Vatikan

Senin, 22 Desember 2025 | 08:00

Implementasi KHL dalam Perspektif Konstitusi: Sinergi Pekerja, Pengusaha, dan Negara

Senin, 22 Desember 2025 | 07:45

FLPP Pecah Rekor, Ribuan MBR Miliki Rumah

Senin, 22 Desember 2025 | 07:24

Jaksa Yadyn Soal Tarik Jaksa dari KPK: Fitnah!

Senin, 22 Desember 2025 | 07:15

Sanad Tarekat PUI

Senin, 22 Desember 2025 | 07:10

Kemenkop–DJP Bangun Ekosistem Data untuk Percepatan Digitalisasi Koperasi

Senin, 22 Desember 2025 | 07:00

FDII 2025 Angkat Kisah Rempah Kenang Kejayaan Nusantara

Senin, 22 Desember 2025 | 06:56

Polemik Homebase Dosen di Indonesia

Senin, 22 Desember 2025 | 06:30

KKP Bidik 35 Titik Pesisir Indonesia Buat KNMP Tahap Dua

Senin, 22 Desember 2025 | 05:59

Selengkapnya