DALAM perjalanan naik kereta api Argo Parahyangan Bandung Jakarta, saya tersentak melihat kursi-kursi kereta yang penuh dengan iklan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan.
Sebelumnya saya sudah terbiasa lihat wajahnya di iklan persimpangan jalan, di acara acara TV dan lain-lain. Saya tersentak karena seluruh ruang gerbong kereta api itu seakan mililknya mutlak. Wajahnya dominan dengan kalimat promosi: "Pakai Produk Dalam Negeri Mulai Dari kita".
Kalimat promosi itu mungkin tidak penting. Yang menarik justru kepentingan Gita yang terkesan tancap gas dan agressif "menampang ria" di pelbagai sudut negeri ini. Entah berapa dana yang telah dihamburkan Gita untuk mempromosi dirinya. Mungkin dia mencoba menempuh rute yang pernah dijalani SBY untuk meraih kekuasaan politik, bermodal pencitraan.
Gita memiliki syarat untuk itu. Tampang menarik, tinggi, ganteng, bergelar doktor, lulusan Amerika pula, dan pasti juga cinta Amerika. Pokoknye mirip SBY dah kalau kita pakai dialek Bang Ridwan Saidi. Kita tidak tahu apakah cara dagang a la SBY ini masih akan laku di 2014, sejarah akan membuktikan.
Tadi malam di sebuah TV digelar hasil survei bahwa pemimpin yg diharapkan Indonesia ke depan adalah yang jujur. Gelar dan pangkat tidak penting. Rakyat sedang gandrung pada pemimpin sederhana, tampang tidak penting. Mereka butuh yang pro rakyat, pro nasionalisme. Sudah muak dengan pemimpin munafik, korupsi dan egosentris.
Itulah cara orang Indonesia melawan. Diam tapi mendasar. Perlawanan kultural.
Gita sedang mendayung ke arah berlawanan. Melawan arus dan sepertinya tidak faham dengan lingkungan politik yang mengitarinya.
Di tengah kemuakan rakyat terhadap membanjirnya barang-barang impor, sepanjang 2011 Indonesia telah mengimpor 3 juta ton beras, 2,8 juta ton jagung, 1,8 juta ton kedelai, 480 ribu ekor sapi, 3,8 juta liter susu, 150 ribu ton beras ketan dan lain-lain, justru Gita tidak merasa itu sebagai beban politik.
Apakah karena memang sponsornya superbesar dan akan mampu membeli suara pemilih yang mayoritas melarat, sehingga dia yakin mampu mengatasi arus yang berlawanan? Ataukakah Gita punya cara menaklukkan arus yang sedang melanda?
Atau Gita cuma ingin menaikkan tingkat elektabilitasnya dan cuma mengincar kursi kedua? Atau seperti seorang pengamat intelijen menganalisis: Buat Gita yang penting eksis di Kabinet mendatang. Waktulah yang akan membuktikan.
[***]