Sidang perdana kasus suap dua penyidik Ditjen Pajak Eko Darmayanto (ED) dan M Dian Irwan Nuqisra (MDI) digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, kemarin. Dalam kasus suap pengurusan pajak PT The Master Steel, Eko dan Dian kena dakwaan berlapis.
Dalam surat dakwaan, terungkap bahwa terdakwa Eko dan Dian tidak hanya menerima suap 300 ribu dolar Singapura dari PT The Master Steel.
Dua penyidik pajak pada Ditjen Pajak Kantor Wilayah Jakarta Timur itu, juga didakwa menerima suap sebesar Rp 3,25 miliar dari Direktur PT Delta Internusa, dan 150 ribu dolar AS atau setara Rp 1,7 miliar dari Kepala Bagian Keuangan PT Nusa Raya Cipta Handoko Tejowinoto.
Sidang digelar di Gedung Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Rasuna Said, Jakarta.
Sidang yang dimulai pukul 1 siang ini, dipimpin Ketua Majelis Hakim Ismanto. Surat dakwaan setebal 45 halaman dibacakan bergantian oleh tim jaksa penuntut umum (JPU) KPK yang beranggotakan jaksa Riyono, Andi Suharlis, Iskandar Marwanto, dan Medi Iskandar Zulkarnain. Di kursi terdakwa, Eko dan Irwan duduk tertib mendengarkan dakwaan.
Dalam surat dakwaan, Eko dan Irwan disebut menerima hadiah atau janji, berupa uang sebesar 600 ribu dolar Singapura dari Direktur Keuangan PT The Master Steel, Diah Soembedi, melalui anak buahnya, yaitu Effendi Komala dan Teddy Muliawan.
Menurut jaksa Paryono, duit itu diduga sebagai suap untuk menghentikan penyidikan tindak pidana perpajakan terhadap pihak PT The Master Steel.
“Uang itu diberikan untuk menghentikan penyidikan tindak pidana perpajakan terhadap Diah Soembedi, Direktur Utama PT The Master Steel, Istanto Burhan, dan Ngadiman,†kata Jaksa Riyono.
Menurut jaksa Riyono, Eko dan Irwan menyidik dugaan pelanggaran pajak PT The Master Steel karena perusahaan baja itu diduga menyampaikan surat pemberitahuan pajak yang isinya tidak benar dan memalsukan transaksi pembayaran pajak.
Dalam perkara itu, Diah, Istanto dan Ngadiman ditetapkan sebagai tersangka dan terancam membayar pajak dengan dendanya sebesar Rp 1,350 miliar.
Demi menghentikan penyidikan, jaksa Andi Suharlis mengatakan, pada sekitar 25 April 2013, Diah didampingi konsultan pajak PT Master Steel, Ruben Hutabarat, bertemu Eko dan dan Dian di sebuah restoran di lantai 3 Hotel Borobudur, Jakarta. Saat itu, Diah meminta Eko dan Irwan membantu menghentikan penyidikan pajak terhadap dia, dan menjanjikan akan memberikan imbalan sebesar Rp 40 miliar.
Dalam dakwaan kedua, jaksa Iskandar Marwanto menyatakan, Eko dan Irwan pernah menerima hadiah atau janji, berupa uang Rp 3,25 miliar dari pemilik dan pemegang saham PT Delta Internusa dan pemilik PT Norojono Tobacco Internasional, Laurentinus Suryawijaya Djuhadi. PT Tobacco Internasional adalah perusahaan rokok.
Uang itu diberikan melalui Manajer Akuntansi PT Delta Internusa, Adi Setiawan, dan stafnya Adi Winarko. Marwanto melanjutkan, keduanya juga pernah menerima 150 ribu dolar AS dari Kepala Bagian Keuangan PT Nu sa Raya Cipta Handoko Tejo Winoto.
Menurut jaksa Medi Iskandar Zulkarnain, Eko dan Dian menerima uang Rp 3,250 miliar diduga sebagai suap untuk menghentikan penyidikan tindak pidana perpajakan di PT Delta Internusa. Menurut dia, hal itu lantaran dalam penyidikan ditemukan kejanggalan dalam data Surat Pajak Terhutang (SPT) perusahaan rokok itu.
“Dalam SPT PT Delta Internusa tercantum data peredaran rokok sebesar Rp 6,1 triliun. Padahal diketahui, nilai rokok yang masuk lebih dari Rp 8 triliun,†kata Medi.
Menurut Medi, Eko dan Irwan juga menemukan kejanggalan SPT Laurentinus yang juga termasuk 100 orang terkaya di Indonesia. Awalnya, Laurentinus keberatan dengan permintaan kedua terdakwa. “Tetapi, setelah Eko dan Irwan bertemu dengan Adi Setiawan dan Adi Winarko disepakati imbalan buat penghentian penyidikan pajak Rp 3,250 miliar,†ujar Medi.
Menurut Medi, uang itu lantas dibagi dua antara Eko dan Irwan. Eko mendapat Rp 1,5 miliar, sementara Irwan mendapat Rp 1,2 miliar. Lantas dalam perkara PT Nusa Raya Cipta, Eko dan Irwan menerima 150 ribu dolar AS guna menghentikan penyidikan pajak perusahaan itu.
Di akhir sidang, Eko maupun Irwan tidak mengajukan nota keberatan (eksepsi). Sidang akan dilanjutkan pada 22 Oktober mendatang dengan agenda pemeriksaan saksi.
Kilas Balik
Bos PT The Master Steel Divonis 2,5 tahun PenjaraSelain menggelar sidang pembacaan dakwaan terhadap penyidik Ditjen Pajak Eko Darmayanto dan M Dian Irwan, Pengadilan Tipikor Jakarta juga menggelar sidang vonis untuk bos PT Master Steel Diah Soembedi dan dua anak buahnya Effendy Komala dan Teddy Muliawan, kemarin. Sidang pembacaan vonis digelar seusai sidang untuk terdakwa Eko dan Irwan.
Majelis hakim menjatuhkan vonis dua tahun enam bulan penjara dan denda Rp 50 juta kepada Direktur Keuangan PT Master Steel Diah Soembedi. Diah dinyatakan terbukti bersalah melakukan penyuapan terhadap Eko dan Dian terkait pengurusan pajak perusahaannya.
“Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama, dan menjatuhkan pidana penjara selama dua tahun enam bulan penjara dan denda 50 juta rupiah subsider 3 bulan kurungan,†kata Hakim Ketua Amin Ismanto saat membacakan amar putusan.
Menurut Amin, Diah dan dua anak buahnya terbukti memberikan uang sebesar 600 ribu dolar Singapura agar penyidikan perkara pajak PT The Master Steel dihentikan. Uang ini sebagai bagian dari Rp 40 miliar yang dijanjikannya, atas kesepakatan di Hotel Borobudur, Jakarta, beberapa saat sebelumnya.
Selain Diah, dua anak buahnya, yakni Manajer Akuntansi PT Master Steel, Effendy Komala dan Supporting Accounting, Teddy Muliawan juga diputus bersalah. Effendy divonis dua tahun penjara dan denda Rp 50 juta subsider tiga bulan kurungan.
Sedangkan Teddy divonis satu tahun enam bulan dan denda Rp 50 juta subsider tiga bulan kurungan.
Menurut hakim, Diah melalui Effendy dan Teddy memberikan hadiah berupa uang 600 ribu dolar Singapura kepada penyidik PNS kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Timur, Eko Darmayanto dan Dian Irwan Nuqisra agar penyidikan perkara pajak PT The Master Steel dihentikan. Ketiganya terbukti melanggar Pasal 13 Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Hakim anggota Anwar memaparkan, kantor DJP Jaktim pada Januari 2011 melakukan pemeriksaan pajak tahun 2008 terhadap PT The Master Steel dan menemukan bukti permulaan kesalahan pajak berupa pelaporan pajak transaksi Rp 1,003 triliun yang dicatatkan sebagai utang.
Padahal, uang itu merupakan transaksi penjualan kepada pihak ketiga dan seharusnya dicatat sebagai penerimaan. Kanwil Pajak Jaktim kemudian menerbitkan surat perintah penyidikan pada 2 April 2013.
Dari Restitusi Fiktif Hingga SuapYesmil Anwar, Dosen Hukum Pidana UnpadPengamat hukum pidana dari Universitas Padjajaran (Unpad) Yesmil Anwar menyatakan, keuangan di sektor pajak merupakan tempat yang paling rawan untuk dikorupsi.
Lemahnya pengawasan di Direktorat Jenderal Pajak menjadi salah satu penyebab, kenapa pemasukan keuangan terbesar negara ini sering dikorupsi. Seperti kasus yang melibatkan penyidik pajak Eko Darmayanto dan M Dian Irwan.
Menurut Yesmil, ada beberapa modus yang menyebabkan kerugian negara itu. Misalnya, pembuatan restitusi fiktif oleh pegawai pajak. “Sehingga perusahaan memperoleh keuntungan dengan membayar lebih sedikit dari yang seharusnya,†ucap Yesmil.
Modus lain adalah perusahaan memberi suap atau gratifikasi kepada pegawai pajak dengan harapan mendapat keuntungan dalam pengurusan pajak perusahaannya. Kata Yesmil, satu perkara disebut suap biasanya karena ada urusan yang ingin langsung dikerjakan oleh penerima suap.
Sedangkan perkara disebut gratifikasi karena pemberian yang diberikan dimaksudkan sebagai investasi, memperoleh keuntungan di masa mendatang, meski belum ada urusan yang dikerjakan. “Karena gratifikasi ini sifatnya untuk jangka panjang,†ujar Yesmil.
Kata Yesmil, di pengadilan pihak perusahaan biasanya berusaha membuktikan diri sebagai pihak yang diperas karena dengan begitu bisa bebas dari dakwaan. Karena dalam perkara suap, penerima dan pemberi kena dua-duanya.
“Sementara jika kasus pemerasan, pihak perusahaan bisa bebas,†tandas Yesmil.
Selain lemahnya pengawasan, lanjut Yesmil, hal lain yang membuat sektor pajak banyak kebocoran karena sistem pengadilan di perpajakan diisi pihak-pihak yang kurang mengerti hukum. Mulai dari penyidik, sampai hakim yang memutus perkara kasus pajak.
“Hakim pajak biasanya berasal dari pensiunan pegawai pajak. Mereka ahli di bidang pajak, tapi tidak ahli di bidang hukumnya,†nilai Yesmil.
Kasus Lain Muncul Jika Akarnya Tak DibereskanAhmad Basarah, Anggota Komisi III DPRAnggota Komisi III DPR Ahmad Basarah menilai, kasus korupsi di sektor pajak masih akan terus berulang jika pemerintah belum membereskan akar masalahnya. Kata Basarah, setidaknya ada dua permasalahan yang mesti segera diperbaiki.
“Kalau tidak ada perbaikan, maka kasus korupsi di sektor pajak akan terus berulang,†ujarnya, kemarin.
Hal yang harus diperhatikan pemerintah, kata Basarah, pertama adalah sistem pengadilan pajak yang lex specialis atau bersifat khusus. Sistem pengadilan pajak yang diisi oleh orang-orang sendiri, berpotensi membuka ruang-ruang manipulasi yang dilakukan secara sistemik.
“Jadi, peluang terjadinya korupsi disokong sistem yang ada,†ucap Basarah.
Sistem yang ada, kata Basarah, juga berpotensi menimbulkan tindakan korupsi di pejabat pajak. “Sistem yang kita anut sekarang, bisa menimbulkan korupsi yang melibatkan berbagai komponen dari atas ke bawah,†tandas politisi PDIP ini.
Dia menduga, kasus penyuapan di sektor pajak dilakukan lebih dari satu orang. “Karena itu, perlu penanggulan yang menyentuh akar masalah. Tidak bersifat seperti pemadam kebakaran, tapi lebih substansial,†saran politisi PDIP itu.
Menurut Basarah, hal mendesak yang harus dilakukan para pengambil kebijakan adalah revisi berbagai macam regulasi, terutama tentang pengadilan pajak. “Sehingga, memperkecil kemungkinan ruang korupsi. Kalau belum ada perbaikan, tinggal menunggu saja kasus lain menyusul,†tandasnya. [Harian Rakyat Merdeka]