Berita

foto: net

Politik

Menimbang SBY sebagai Wakil Presiden

SELASA, 17 SEPTEMBER 2013 | 15:46 WIB | LAPORAN: ALDI GULTOM

Perjalanan pemerintahan SBY sembilan tahun ini tidak bisa dibilang mulus-mulus saja. Memang ada program-program pembangunan dan strategi ekonomi yang menuai hasil. Sayangnya, gaung success story itu tak sehingar bingar gaung berderet skandal hukum dan politik yang mendera pemerintahannya dan partai binaannya.

Semua orang percaya, di ujung nafas pemerintahannya ini SBY cuma punya satu tujuan yaitu mendarat mulus. Sebagai pemimpin yang sangat peduli citra, SBY pasti setidaknya ingin ada sedikit penghormatan atas warisan yang ditinggalkannya. Istilah kerennya, soft landing.

Tentu SBY tidak ingin menjadi seperti apa yang dikatakan tokoh ekonomi politik nasional, Rizal Ramli, yang menggambarkan SBY akan menjadi presiden pertama di Indonesia yang diadili setelah turun takhta akibat kejahatan politiknya selama 10 tahun menjabat. Bahkan, Rizal memastikan bila SBY tak segera melarikan diri dari Indonesia setelah lengser maka pengadilan menantinya.


Kini, fokus SBY adalah untuk menemukan penerus jabatan presiden yang dapat dipercaya, yang bisa menjamin bahwa ia dan keluarganya beserta seluruh konco-konco-nya tidak bakal diseret ke pengadilan atau "dikiriminalisasi". Satu hal yang menurut sebagian kalangan niscaya terjadi bila kekuasaan nantinya dipegang sepenuhnya oleh kubu lawan politik SBY yang tidak pernah mau ambil bagian dalam dua periode pemerintahannya.

Tapi siapakah dia dan bagaimana kriterianya? Akankah sosok penyelamat itu ditemukan lewat penjaringan capres ala Demokrat? Sebelum kita menengok ke masing-masing sosok yang berlaga di konvensi, sayangnya, sejauh ini sejumlah analis dan politisi masih meyakini bahwa konvensi Demokrat merupakan kesia-siaan belaka. Akan sulit bagi Demokrat mendongkrak perolehan suaranya secara ajaib seperti di Pemilu 2009 karena begitu kerasnya badai korupsi yang mengguncang tubuh partai baik di pusat maupun daerah. Sementara, aturan untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden sendiri masih tak berubah dari perolehan 20 persen suara nasional.

Jika menilai dari segi tokoh-tokoh yang bertarung di konvensi, greget-nya pun sangat kurang. Malah, sejak 11 nama peserta konvensi diumumkan, masyarakat tak menempatkan konvensi sebagai liga utama di mana para pemain politik kelas berat bermain. Apakah SBY bisa begitu saja menitipkan "keselamatannya" pasca berkuasa kepada para pemain divisi dua?

Melihat semua perhitungan tersebut, niscaya pula bahwa alternatif paling masuk akal bagi SBY dan Demokrat adalah memilih untuk berkoalisi dengan partai lain di Pilpres 2014. Tapi, Demokrat pun harus rela menurunkan levelnya memajukan kandidat wakil presiden.

Menarik bila kita merespons apa yang dikatakan mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, di sela peluncuran Perhimpunan Pergerakan Indonesia, hari Minggu lalu. Di tengah frustasi akan ketiadaan tokoh, ditambah lagi kondisi partai yang tak prima, adalah lebih baik SBY turun tangan sekali lagi bukan cuma untuk menyelamatkan gerbong politiknya tetapi juga reputasinya sebagai tokoh nasional.

SBY disarankan sekali lagi mengajukan dirinya bertarung di Pemilihan Presiden, tapi bukan lagi sebagai calon presiden melainkan calon wakil presiden. Dalam konstitusi, SBY hanya dilarang mencalonkan diri lagi sebagai presiden karena sudah dua kali menjabat. Tapi, untuk menjadi wapres SBY masih layak tanding. Tidak ada aturan konstitusi yang melarang presiden yang sudah dua kali menjabat untuk mencalonkan diri menjadi wakil presiden.

Maukah SBY turun pangkat? Anas yakin mau, karena SBY pun sudah pernah melakukannya ketika mengambil alih jabatan Ketua Umum lewat Kongres Luar Biasa Demokrat. Dengan sekali lagi menurunkan "derajat"nya, SBY mampu menyelamatkan dua hal. Yaitu, elektabilitas Demokrat dan program-program pemerintahannya yang belum tuntas.

Toh, realitas politik kita menunjukkan bahwa praktik serupa sudah pernah dilakukan para kepala daerah yang sudah menjabat dua periode namun tetap ingin mencalonkan diri lagi. Mereka rela turun pangkat demi kepentingan yang lebih besar.

Hal itu lebih baik daripada SBY yang telah menjabat dua periode malah menyerahkan kekuasaan kepada keluarganya, seperti istri atau anaknya.

Saran ini perlu dipertimbangkan matang oleh SBY setelah melihat ketidakpastian politik akhir-akhir ini. Lihatlah, bahkan Robert Tantular, seorang narapidana korupsi, berani menyentil-nyentil lagi soal aliran dana bail out bank Century yang sejak lama diduga mengalir ke Demokrat dan Cikeas jelang pemilihan umum 2009 lalu.  

Relakah SBY sekali lagi turun derajat? Jiwa besar dari SBY yang dikenal ulung dalam strategi politik diperlukan demi penyelamatan karir, reputasi dan citra yang selama ini diagung-agungkannya sendiri.  [ald]

Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

UPDATE

Trump Serang Demokrat dalam Pesan Malam Natal

Kamis, 25 Desember 2025 | 16:04

BUMN Target 500 Rumah Korban Banjir Rampung dalam Seminggu

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:20

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Gibran Minta Pendeta dan Romo Terus Menjaga Toleransi

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:40

BGN Sebut Tak Paksa Siswa Datang ke Sekolah Ambil MBG, Nanik: Bisa Diwakilkan Orang Tua

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:39

Posko Pengungsian Sumut Disulap jadi Gereja demi Rayakan Natal

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:20

Banyak Kepala Daerah Diciduk KPK, Kardinal Suharyo Ingatkan Pejabat Harus Tobat

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:15

Arsitektur Nalar, Menata Ulang Nurani Pendidikan

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:13

Kepala BUMN Temui Seskab di Malam Natal, Bahas Apa?

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:03

Harga Bitcoin Naik Terdorong Faktor El Salvador-Musk

Kamis, 25 Desember 2025 | 13:58

Selengkapnya