Mengurus kedelai di negeri tempe ini memang bukan perkara mudah. Terlebih bila pejabat pemerintah yang seharusnya bekerja keras untuk melaksanakan tugas yang telah diembankan malah sibuk mengurusi hal lain.
Pekan pertama Mei lalu Presiden SBY telah menandatangani Peraturan Presiden 32/20013 tentang Penugasan kepada Perusahaan Umum Bulog untuk Mengamankan Harga dan Penyaluran Kedelai.
Isi Perpres Perpres 32/2013 ini seterang benderang namanya. Pada Pasal 1 disebutkan dengan tegas, mengulangi namanya, "Pemerintah menugaskan kepada Perusahaan Umum Bulog untuk melaksanakan pengamanan harga dan penyaluran kedelai."
Di Pasal 2 Perpres 32/2013 itu disebutkan pula bahwa "tata cara pelaksanaan pengamanan harga dan penyaluran kedelai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, diatur oleh Menteri Perdagangan setelah memperhatikan pertimbangan dari Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian, dan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah."
Tetapi sampai kini urusan kedelai, tahu dan tempe, masih mandek juga.
Pada tahun ini saja, harga kedelai mengalami kenaikan sebesar 49 persen, dari pada kisaran Rp 5.500 di awal tahun menjadi Rp 8.200. Perajin tahu tempe khawatir harga ini masih bisa bergerak naik dan melewati ambang harga Rp 10 ribu per kilogram.
Ketua Koperasi Pengusaha Tahu Tempe Indonesia (KOPTTI) DKI Jakarta, Suharto, beberapa waktu lalu, mengatakan bahwa pihaknya sudah lama mengingatkan urusan kelangkaan kedelai, sejak harga kedelai per kilogram baru pada kisaran Rp 4.000. Kini kacang kedelai dijual di kisaran Rp 7.500 hingga Rp 8.000 per kilogram. Bahkan ada perajin tahu tempe yang terpaksa membeli kedelai pada harga Rp 8.200.
Dia merasa ada yang aneh karena setelah Perpres itu diteken Presiden SBY pun harga kedelai masih tak terkendali.
Menteri Perdagangan Gita Wirajawan yang dalam Perpres 32/2013 itu ditugaskan untuk mengatur tata cara pelaksanaan pengamanan harga dan penyaluran kedelai baru bertindak akhir bulan Agustus setelah sejumlah kalangan berteriak soal kemungkinan kartel impor kedelai yang disebut-sebut melibatkan importir lama.
Pada 28 Agustus Gita Wirjawan menandatangani Peraturan Menteri Perdagangan 45/M-DAG/KEP/8/2013 tentang Impor Dalam Rangka Program Stabilisasi Harga Kedelai yang merupakan perbaikan dari peraturan sebelumnya, nomor 24/M-DAG/PER/5/2013.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Bachrul Chairi, di Jakarta, kemarin (3/9), mengatakan bahwa Peraturan Menteri Perdagangan yang terakhir itu merupakan tindak lanjut dari paket kebijakan penyelamatan ekonomi yang telah diumumkan oleh Pemerintah pada 23 Agustus.
Dalam peraturan itu disebutkan bahwa impor kedelai dilakukan melalui Importir Terdaftar (IT) dan Importir Produsen (IP), serta penambahan BUMN sebagai importir kedelai yang ikut dalam Program Stabilisasi Harga Kedelai. Ini artinya, BUMN selain Perum Bulog juga memiliki kesempatan ikut dalam Program Stabilisasi Harga Kedelai.
Data pemerintah menyebutkan bahwa jumlah kedelai yang harus diimpor hingga akhir tahun ini sekitar 1,48 juta ton. Sementara data Kementrian Perdagangan memperlihatkan hingga bulan Agustus, realisasi impor kedelai sudah mencapai 900 ribu ton. Antara September hingga akhir 2014 Kementerian Perdagangan memperkirakan tambahan impor kedelai 584 ribu ton.
Pekan lalu, Gita Wirjawan mengatakan ada 20 perusahaan yang tengah mengantre untuk mendapatkan jatah impor. Gita juga membantah telah terjadi praktik kartel dalam pengadaan kedelai impor. Kelangkaan kedelai impor, katanya, karena gejolak harga yang dipicu anomali cuaca di Amerika Serikat.
Di antara yang mengantre itu adalah Perum Bulog. Instansi plat merah yang mewakili kepentingan publik ini harus bersaing dengan importir raksasa yang selama ini menguasai importasi kedelai, termasuk PT CI dan PT GCU yang diduga menguasai 74 persen pasar kedelai impor di Indonesia dan pernah disinyalir Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melakukan praktik kartel.
Informasi yang diperoleh dari kalangan dalam mengatakan bahwa Bulog sebenarnya sudah mengajukan permohonan impor kedelai setelah Perpres 32/2013 ditandatangani Presiden SBY. Tetapi Gita Wirjawan terlalu lambat bergerak menyikapi Perpres 32/2013 itu.
Gita Wirjawan dan Kementerian yang dipimpinnya dianggap kurang memiliki
sense of crisis, seolah keadaan masih biasa-biasa saja.
Kegagalan memenuhi pasokan kedelai dari luar ini dinilai sejumlah kalangan sebagai bentuk ketidakcakapan Gita Wirjawan yang belakangan tampak lebih sibuk menginklankan diri sebagai tokoh yang bisa diharapkan untuk membangun Indonesia di masa depan.
Padahal, mengurus impor kedelai saja Gita Wirjawan belum bisa.
[ysa]