Berita

FOTO:NET

Bisnis

Saatnya Konversi Alokasi Gas Pangkas Praktik Pemburu Rente

SENIN, 02 SEPTEMBER 2013 | 18:43 WIB | LAPORAN:

Terbongkarnya suap Kernel Oil menjadi pintu masuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyelidiki  mafia trader gas dalam alokasi gas oleh Satuan Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Pasalnya diduga kuat  terjadi inefisiensi dalam penjualan gas.

Pengamat perminyakan Kurtubi menilai, kasus suap terhadap Rudi Rubiandini baru menelanjangi sebagian permainan dalam pengalokasian minyak dan kondensat bagian negara pada pembeli/trader. Padahal dalam kasus alokasi gas tercium banyak bau tak sedap.

"Luar biasa kerugian negara akibat sistem yang buruk pengelolaan migas dikerjakan lembaga negara. Tata kelola migas Indonesia terburuk dari 140 negara, karena korupsi. Mudah-mudahan kasus Kernel membuka mata rakyat Indonesia kita tak boleh membiarkan tata kelola migas yang menyimpang," kata Kurtubi di Jakarta, Senin (2/9).


Menurut dia, seharusnya saat  tahun 2004 akan net importir, pemerintah mengurangi konsumsi minyak lewat konversi minyak ke gas dengan cara membangun infrastruktur gas atau geotermal untuk listrik. Namun  yang terjadi, saat net importir, malah PLN Muara Karang menolak gas.

"Sebenarnya kondisi Indonesia net importir bisa diprediksi, sebab trend produksi minyak naik terus, namun pada suatu masa akan turun. Sementara trending konsumsi terus naik, sehingga suatu saat akan net importir. Jadi ketika tahun 2004 kita akan net importir sudah dapat diproduksi," jelas Kurtubi.

Dia juga menilai Malaysia lebih konsisten karena segera melakukan konversi minyak ke gas dengan tidak semuanya memakai minyak. Sebagian konsumsi dikonversi menjadi gas. Pada 1980-an bahkan Petronas milik Malaysia sudah membangun Peninsular Gas Utilisation (PGU).

"Dia menyiapkan konversi dari minyak ke gas tahun 1980-an. Malaysia sudah tahu  minyak suatu saat akan habis, sehingga tahun 2000-an dia bisa ekspor gas," imbuhnya.

Anehnya, Indonesia tahun 2004 mengeluarkan PP 36/2004, sehingga pertama kalinya melegalkan skema trading gas. Pada tahun 2009 juga keluar peraturan PPK BP Migas 29/2009 dan Permen 3/2010.

"Apakah tidak diperkirakan oleh penguasa zaman dulu sehingga tidak diperhitungkan, sebenarnya mereka paham betul. Namun kepentingan pribadi dan golongan ternyata lebih besar dari kepentingan negara. Ini sangat disayangkan. Semakin skema trading ini didorong, ujung-ujungnya adalah menciptakan pemburu rente," tegas Kurtubi.

Senada dengan Kurtubi, bekas konsultan Trafigura, suatu perusahaan trader migas, Yusri Usman mensinyalir telah terjadi kongkalikong dalam penentuan siapa pembeli gas. Padahal, penentuan penjual dan pembeli gas ditentukan melalui Pedoman Tata Kerja (PTK) 29/2009 BP Migas tentang Penunjukan dan Penjualan Gas Bumi/ LNG/LPG Bagian Negara.

Di PTK itu diatur penentuan penjual gas bagian negara dilakukan berdasarkan permohonan KKKS atau badan usaha non KKKS ke BP Migas (sekarang SKK Migas) untuk menjadi penjual gas dan ditetapkan oleh BP Migas/SKK Migas.

Dalam prakteknya, banyak pembeli gas hanyalah trader yang ingin mendapat rente alias broker. Mereka tidak memiliki infrastruktur pipa maupun pengolah gas menjadi gas padat atau gas alam cair. Yang terjadi kemudian, mereka sekedar memburu alokasi untuk kemudian dijual kepada trader gas yang memiliki infrastruktur.

Selain pemilihan langsung, penjualan gas oleh SKK Migas selama ini  dilakukan penunjukan langsung pada daerah penghasil migas yang diberikan pada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau perusahaan daerah (Perusda). Mekanisme formal yang tertulis menyatakan bila ada lebih dari satu BUMN/Perusda dilakukan pembicaraan antara BUMD itu untuk menentukan pembelinya.

"Model pembicaraan ini sangat rentan menimbulkan penyimpangan," kata  Kurtubi.

Dalam prakteknya, banyak BUMD/perusda tidak memiliki infrastruktur maupun kemampuan  menyalurkan gas itu. Sehingga mereka didekati broker  mengurus gas jatah BUMD itu. Broker ini pun tak memiliki infrastruktur sehingga akan menawarkan gas mereka ke perusahaan atau trader pemilik infrastruktur. Sekali lagi end user dirugikan karena  harus membayar gas lebih mahal dengan  rantai distribusi yang panjang ini.

Sudah saatnya membuat mekanisme penentuan alokasi gas  lebih transparan dan terbuka. Selain itu perlu  diatur lebih jelas, trader yang boleh menjadi pembeli gas yaitu perusahaan yang memiliki infrastruktur gas dan bukannya broker pencari rente  yang justru menimbulkan ekonomi biaya tinggi.[wid]

Populer

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Tamparan bagi Negara: WNA China Ilegal Berani Serang Prajurit TNI di Ketapang

Sabtu, 20 Desember 2025 | 09:26

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

Tunjuk Ara di Depan Luhut

Senin, 15 Desember 2025 | 21:49

UPDATE

Perbankan Nasional Didorong Lebih Sehat dan Tangguh di 2026

Senin, 22 Desember 2025 | 08:06

Paus Leo XIV Panggil Kardinal di Seluruh Dunia ke Vatikan

Senin, 22 Desember 2025 | 08:00

Implementasi KHL dalam Perspektif Konstitusi: Sinergi Pekerja, Pengusaha, dan Negara

Senin, 22 Desember 2025 | 07:45

FLPP Pecah Rekor, Ribuan MBR Miliki Rumah

Senin, 22 Desember 2025 | 07:24

Jaksa Yadyn Soal Tarik Jaksa dari KPK: Fitnah!

Senin, 22 Desember 2025 | 07:15

Sanad Tarekat PUI

Senin, 22 Desember 2025 | 07:10

Kemenkop–DJP Bangun Ekosistem Data untuk Percepatan Digitalisasi Koperasi

Senin, 22 Desember 2025 | 07:00

FDII 2025 Angkat Kisah Rempah Kenang Kejayaan Nusantara

Senin, 22 Desember 2025 | 06:56

Polemik Homebase Dosen di Indonesia

Senin, 22 Desember 2025 | 06:30

KKP Bidik 35 Titik Pesisir Indonesia Buat KNMP Tahap Dua

Senin, 22 Desember 2025 | 05:59

Selengkapnya