Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Indonesia (FITRA) mencatat ada 34 perusahaan tambang minyak dan gas (migas) yang menunggak pajak.
Direktur Investigasi dan Advokasi FITRA Uchok Sky Khadafi mengatakan, selama 2009 dan 2010 terhitung ada sebanyak 34 perusahaan minyak dan gas bumi kurang bayar pajak ke negara sebesar Rp 2,7 triliun.
“Mereka sudah bayar pajak, tapi ada selisihnya. Ternyata berdasrkana audit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) pajak yang mereka (perusahaan migas) bayar itu kurang dari semestinya,†ujar Uchok di acara diskusi migas di Jakarta, kemarin.
Dia mengatakan, berdasarkan laporan BPK pada 2009 ada 21 perusahaan migas yang kurang bayar pajak dengan nilai sebesar Rp 1,2 triliun. Sedangkan, pada 2010 terdapat 13 perusahaan migas yang masih kurang bayar pajak sebesar Rp 1,5 triliun.
Namun yang menjadi masalah saat ini, kata dia, BPK juga tidak tegas menentukan siapa yang bertanggung jawab terhadap permasalahan tunggakan pajak migas itu.
Mestinya, lanjuta dia, BPK lebih berani dalam melakukan audit agar bisa ditindaklanjuti oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sehingga permasalahan pajak perusahaan migas ini bisa hilang.
Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran Indonesia Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas mengatakan, saat ini pengelolaan migas rawan praktik korupsi. Bahkan dia menyebut, pengelolaan minyak dan gas bumi di Indonesia sangat panjang dan ribet sehingga sangat memungkinkan adanya penyimpangan.
“Ketahanan energi dan subsidi era sekarang ini sulit karena lepasnya industri kita dari hulu dan hilir,†katanya.
Menurutnya, kebutuhan minyak dalam negeri semakin melonjak, tapi tidak semuanya bisa dipenuhi dari produksi dalam negeri. Dari subsidi 48 juta kiloliter (KL), hanya 60 persen yang bisa diisi dari produksi dalam negeri. Selebihnya, harus melalui mekanisme impor.
“Ada produk yang memang tidak bisa dibuat di Indonesia. Rantai pengelolaan begitu panjang dan begitu banyak,†jelasnya.
Dia bilang, panjang dan berbelitnya rantai pengelolaan minyak sangat memungkinkan melahirkan potensi penyimpangan dalam pengelolaan migas. “Rantai distribusi pengelolaan yang tidak terbuka, rantai panjang, iklim tertutup. Potensi penyimpangan sangat besar,†katanya.
Direktur Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan, permasalahan pajak migas memang tidak pernah selesai. Karenanya, tidak heran jika setiap pemeriksaan BPK masih ditemukan kerugian negara.
Apalagi, menurut Mamit, penanganan masalah pajak migas ini juga tidak maksimal. Banyak perusahaan migas nakal yang memanfatkan aturan tax treaty (Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda/P3B).
Mamit mengatakan, modus yang dipakai perusahaan migas tersebut adalah memindahkan kantor pusatnya ke salah satu negara yang sudah meneken perjanjian pajak dengan Indonesia.
Padahal, negara asal perusahaan migas itu sebenarnya tidak meneken perjanjian pajak dengan Pemerintah Indonesia. Karena itu, perusahaan tersebut bisa menikmati pembayaran pajak yang lebih murah.
Anggota Komisi VII DPR Satya Yudha meminta, alokasi pendapatan migas digunakan untuk pencarian cadangan dan ladang migas baru. “Saat ini pendapatan migas yang digunakan kembali untuk mencari cadangan migas masih sangat kecil,†ujarnya.
Menurut Satya, saat ini anggaran untuk melakukan pencarian cadangan minyak baru di Indonesia sangat minim, sehingga cadangan minyak nasional terus tergerus seiring dengan produksi minyak. “Paling tidak kinerja eksplorasi kita itu 51 persen dibanding dengan eksploitasi,†katanya.
Sebelumnya, Ketua KPK Abraham Samad mengatakan, ada sekitar 60 persen perusahaan tambang di Indonesia nunggak pajak dan royalti kepada negara.
Pemicunya, ditengarai ada kesepakatan ilegal antara aparat dan pejabat di daerah. Abraham juga mengungkapkan banyaknya potensi sumber daya alam yang tidak terkelola dengan baik. Hasilnya, ratusan triliun rupiah selalu lenyap setiap tahunnya. [Harian Rakyat Merdeka]