Pencalonan Maphilinda, sebagai calon Wakil Gubernur Sumatera Selatan, dianggap para pengamat sebagai contoh yang tidak baik. Meski berhak dicalonkan, tapi status Maphilinda sebagai istri mantan Gubernur Sumatera Selatan yang pernah terjerat kasus korupsi, Syahrial Oesman, tak pantas secara etika politik.
Koordinator Indonesia Budegting Center (IBC), Arif Nuralam, mengatakan hal itu dalam pernyataan persnya (Senin, 26/8). Menurut Arif, calon yang menggandeng Maphilinda bakal menjadi pintu masuk pelaku korupsi bisa kembali masuk ke kekuasaan.
"Sangat mungkin. Karena itu penyelenggara pemilu harus melakukan pengetatan dan transparansi laporan kekayaannya dan dana kampanye. Publik juga harus disadarkan agar lebih kritis dalam memilih," kata Arif.
Masih menurutnya, yang tidak kalah penting lagi adalah membangun kesadaran kolektif pemilih untuk memberikan sanksi kepada calon dan keluarga koruptor. Daya kritis pemilih harus dibangun agar mereka tak selalu terpedaya kelit elite.
"Daya kritis pemilih harus dibangun. Pemilih harus memberi sanksi pada calon yang tak pantas maju atau kepada keluarga koruptor untuk tidak dipilih," kata Arif.
Menurut Arif, pendidikan politik pemilih harus menjadi grand design dari penyelenggara pemilu, yakni Bawaslu dan KPU. Harus ada instrumen yang bisa mencegah munculnya pemimpin-pemimpin yang berwatak korup dan potensial menjadi boneka koruptor.
" Hal ini penting, agar percepatan transisi demokrasi yang berujung pada kesejahtaraan rakyat bisa terwujud," katanya.
Sementara itu, Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Yusfitriadi, mengatakan, di tengah tingkat kesadaran publik terhadap mentalitas, moralitas kepemimpinan dan jabatan publik yang relatif masih rendah, pembatasan politik dinasti perlu mendapat payung hukum. Artinya, perlu diatur.
"Politik dinasti terjadi massif di berbagai tempat dengan berbagai modus operandi," kata Yusfitriadi.
Maka dalam upaya merespon preseden tersebut, kata dia, tak cukup mengandalkan landasan normatif atau landasan logika politik. Namun harus jelas regulasinya.Bahkan, pembatasan politik dinasti itu juga menjadi salah satu tuntutan di era reformasi.
Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi sendiri, dengan tegas mengatakan, pihaknya akan tetap memasukan klausul pembatasan politik dinasti dalam RUU Pilkada. Menurut dia, pembatasan itu diperlukan. Meski ia menyadari, itu akan menuai pro dan kontra.
Pembatasan politik dinasti itu sendiri tak bersifat total dan permanen. Misalnya, dibatasi untuk satu periode saja. Maka, ketika salah satu keluarga itu memimpin, katakanlah menjadi kepala daerah, maka di periode berikutnya keluarganya tak boleh mencalonkan.
[ald]