komisi pemberantas korupsi (KPK)
Penangkapan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini merupakan momentum yang tepat agar revisi UU Migas segera dilakukan. Dibukanya keran liberalisasi gas dalam
UU Migas No.22 tahun 2001 terbukti telah membuka peluang permainan bagi pejabat negara dan membahayakan ketahanan energi nasional.
Aturan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) dan Permen justru semakin jauh membawa ke skema liberalisasi migas dan menyuburkan KKN dalam bentuk trading dan brokering dibanding pertumbuhan infrastruktur migas.
Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio mengatakan, revisi UU Migas, sudah mendesak untuk membangun kemandirian industri migas. Ia sepakat, pengelolaan migas oleh banyak institusi justru membuatnya tak maksimal.
Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio mengatakan, revisi UU Migas, sudah mendesak untuk membangun kemandirian industri migas. Ia sepakat, pengelolaan migas oleh banyak institusi justru membuatnya tak maksimal.
“Dengan Undang-Undang Migas itu, status BUMN pengelola Migas dikorbankan karena disamakan dengan kontraktor asing. Akibatnya, jika mau eksplorasi migas harus mengikuti tender seperti perusahaan kontraktor asing,’’ kata Agus di Jakarta, kemarin.
Menurutnya, liberalisasi dan kompetisi gas sesuai PP 36/2004 menyebabkan kegagalan dalam pengembangan konversi BBM ke gas karena skema liberalisasi untuk pembangunan infrastruktur gas yang miskin konsumsi tidak menarik. Terbukti dieksekusinya lelang pipanisasi gas bumi Kalimantan-Jawa, Gresik-Semarang, Semarang-Cirebon.
Seandainya UU Migas direvisi, lanjutnya, maka BUMN migas bisa mengatur importir. “Contohnya, karena ulah importir, Indonesia tidak memiliki kilang minyak untuk memproduksi BBM. Kini, posisi BUMN migas malah di bawah perusahaan swasta asing. Bahkan terkadang bisa dipermainkan oleh para trader,†cetusnya.
Power full-nya trader hitam menurut Agus, karena kedekatan mereka dengan oknum pejabat. Seperti kasus suap Kepala SKK Migas. Agus meyakini, dugaan suap menyuap yang dilakukan trader itu sudah kronis. Untuk itu, dia juga meminta KPK mengawasi para trader migas tersebut.
Data Rakyat Merdeka mengungkap, saat ini tercatat ada sekitar 61 trader gas di Indonesia dan berandil memperpanjang jalur distribusi gas sebelum sampai ke konsumen akhir. Seorang sumber menyatakan, mereka ada yang berbisnis menyalurkan gas dari kontraktor pengelola lapangan gas ke industri pengguna gas. Ada pula yang sekadar membeli dari operator gas dan menjualnya ke sesama trader gas.
Sebagian trader itu memiliki jalur distribusi sendiri. Namun ada juga yang hanya sebatas sebagai perantara alias broker gas. Parahnya, ada transaksi bertingkat yang terjadi di lokasi pengukuran (stasiun gas) yang sama.
Suburnya bisnis trader ini semakin legal karena adanya peraturan yang malah mendukung trader tanpa harus membangun infrastruktur, yang notabene tidak menguntungkan.
Sebagai contoh, ada trader gas yang membeli gas dari produsen gas dan menjualnya ke PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk. Dari transaksi ini, kabarnya si trader meraih komisi 1 dolar AS per million british thermal units (mmbtu). Nah, lantaran distribusi yang semakin panjang itulah harga gas jadi tinggi.
Pengamat migas Marwan Batubara juga meminta agar UU Migas direvisi secepatnya. ‘’Model ganti baju ala SBY ini kan bermasalah. Harusnya dikembalikan saja ke BUMN Migas. SKK Migas tidak dibekali kemampuan melakukan jual beli migas, sehingga hal itu menjadi peluang besar bagi para trader,’’ katanya.
Marwan juga menyoroti ulah para trader gas yang sama bermasalahnya dengan trader minyak. “PGN pasti dirugikan. Semestinya KPK mengawasi ulah para trader ini. Dimana-mana membeli via broker pasti lebih mahal,†ujarnya.
Sebagai contoh, Marwan menyebut penerapan mekanisme alokasi gas yang rawan di SKK Migas. Penentuan penjual dan pembeli gas bumi berdasarkan permohonan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) atau Badan Usaha non KKKS ke BP Migas (SKK Migas). Penjual gas harus melakukan pemilihan langsung.
‘’SKK Migas dan Kementerian ESDM awasi dong para trader migas yang tak punya jalur distribusi sendiri,†pintanya. [Harian Rakyat Merdeka]