Jakarta belum ramah terhadap pejalan kaki. Kondisi trotoar di ibukota masih memprihatinkan. Jalur milik pejalan kaki ini kondisinya masih belum layak karena rusak, tidak terawat maupun penyalahgunaan fungsinya. Hak pejalan kaki pun terabaikan.
Jalan-jalan protokol di Jakarta pada hari-hari kerja seperti biasa ramai dengan kendaraan. Di Jalan Gatot Subroto yang kanan kirinya berdiri gedung-gedung bertingkat, volume kendaraan menjelang sore makin meningkat. Pemandangan jalan yang lebar ini kontras sekali dengan keadaan di sisi jalan yang sepi.
Ya, trotoar yang seharusnya menjadi bagian dari jalan justru tidak bisa dimanfaatkan secara optimal oleh para pejalan kaki. Bukan karena tidak adanya pejalan kaki atau pun tidak mau memanfaatkannya, namun lebih karena kondisi trotoar yang menurut pejalan kaki tidak layak dilewati.
Pengelolaan trotoar yang kurang baik menunjukkan cara berpikir Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta yang masih mementingkan pengguna kendaraan bermotor dibanding pejalan kaki. Padahal, keduanya memiliki hak yang sama di jalan.
Sebagai informasi, dalam Undang-Indang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pasal 131 menyatakan trotoar adalah fasilitas untuk pejalan kaki. Pembangunan jalan kadang tidak diikuti dengan pembuatan trotoar. Bahkan trotoar yang sudah ada bisa dikorbankan untuk pelebaran jalan.
Dari hasil pengamatan, kondisi trotoar di jalan-jalan protokal Jakarta sangat memprihatinkan. Meskipun ada ruang bagi pejalan kaki di sisi jalan, namun kondisinya tidak layak. Di Jakarta, umumnya trotoar dilapisi pavling blok yang tersusun rapih. Namun, kenyataannya tidak semua trotoar seperti itu.
Misalnya, di sekitar
traffic light Kuningan, persimpangan antara Jalan HR Rasuna Said dan Jalan Gatot Subroto kondisi trotoarnya tidak selalu bagus. Trotoar di wilayah protokol ini kondisinya tidak seragam. Di sana bisa dijumpai kondisi trotoar mulai dari yang agak rapih hingga yang rusak parah tidak berbentuk. Bahkan ada paralon-apralon dan bekas galian yang tidak tertutup kembali dengan sempurna. Dengan kondisi seperti itu mau tidak mau pejalan kaki yang melintas harus menghindarinya.
Eko, pegawai swasta yang berkantor di Jalan Gatot Subroto mengeluhkan kondisi trotoar yang biasa ia lewati. Menurutnya, di wilayah perkantoran yang ramai aktivitas orang ini, seharusnya diperhatikan kondisi trotoarnya. Mulai dari lebarnya hingga kerapihannya.
“Saya biasa berjalan kaki setelah turun dari bus Transjakarta di halte Gatot Subroto Jamsostek menuju kantor. Perjalanan saya kurang aman dan nyaman karena kondisi trotoarnya yang tidak layak. Lihat saja tidak semuanya rapih. Ada yang disemen ada juga yang tanah merah sisa-sisa galian,†ujarnya.
Selain itu, Eko juga merasa kurang aman berjalan kaki di trotoar pada malam hari karena kurangnya penerangan jalan. Menurutnya, dengan kondisi trotoar yang banyak ‘jebakannya’ seperti itu bisa berbahaya bagi pejalan kaki. “Bahaya juga kalau gelap, bisa kesandung atau bahkan bisa masuk lubang bekas galian,†tandasnya.
Kebijakan Pemprov Jakarta diakui, kurang menyentuh kepentingan pejalan kaki. Mulai dari ketersediaannya yang minim hingga alih fungsi trotoar. Masih banyak pelanggaran penggunaan trotoar yang seolah-olah dibiarkan. Seperti penggunaan trotoar untuk tempat parkir liar dan berjualan hingga digunakan untuk motor melintas. Pemprov DKI Jakarta harus berani menindak pelanggaran-pelanggaran itu. Dengan kebijakan yang tepat serta tindakan yang tegas diharapkan trotoar bisa kembali ke fungsinya yang sesuai.
Pengamat perkotaan Yayat Supriatna menilai, sumber permasalahan lain mengenai trotoar di Jakarta yaitu ketidakjelasan dinas yang memiliki kewenangan terhadap urusan trotoar. “Trotoar itu tidak jelas kewenangannya di mana, apa Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pertamanan, Dinas Perhubungan atau lainnya, sehingga menjadi seperti kurang dapat perhatian, ini harus diperjelas agar menjadi ramah bagi pejalan kaki,†ujarnya.
Menurut Yayat, keadaan pejalan kaki di Jakarta semakin teraniaya dengan trotoar yang banyak dijadikan lahan parkir sepeda motor. “Pejalan kaki sudah semakin teraniaya. Apalagi saat ini trotoar dimanfaatkan menjadi lahan parkir. Ada lahan trotoar yang kosong langsung dijadikan tempat parkir,†katanya.
Dinas PU Ngaku Sulit Benahi Trotoar RusakKarut marutnya kondisi trotoar di wilayah DKI Jakarta membawa pengaruh buruk yang begitu luas. Koordinator Koalisi Pejalan Kaki Alfred Sitorus menyayangkan pemerintah provinsi DKI yang belum memberikan perhatian pada penyediaan trotoar.
Ia menilai, trotoar yang ada di Jakarta masih sangat jauh dari ideal. “Idealnya trotoar itu harus layak dan ramah dilalui pejalan kaki, termasuk bagi para penyandang disabilitas,†ujarnya.
Kondisi trotoar di ibukota dianggap sangat krisis, baik dari segi jumlah, ukurannya, maupun fasilitas yang tersedia. Selain itu, pembangunan trotoar dengan konsep pedestrian ideal juga harus diperhatikan seperti yang saat ini sedang dilakukan. Antara lain di Jalan Merdeka Selatan, Merdeka Barat, kawasan Jalan Sabang, Jalan Kebon Sirih, kawasan Harmoni-Kota sisi barat-timur dan Cikini.
Menurut Koalisi Pejalan Kaki, salah satu penyebabnya adalah tumpang tindih wewenang antar berbagai dinas. Maklum saja, dalam satu jalan, ada setidaknya tiga instansi pemerintahan yang terlibat yakni Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Perhubungan dan Dinas Pertamanan.
Wewenang pembangunan dan pengaturan jalan raya dan trotoar dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umum. Adapun pembangunan jembatan penyeberangan orang dilakukan oleh Dinas Perhubungan, namun pemeliharaannya sebagian melibatkan Dinas Pertamanan. Terakhir, trotoar menjadi tanggungjawab Dinas Pekerjaan Umum, tapi belakangan juga dibagi dengan Dinas Pertamanan. “Bayangkan, akibat ketiadaaan koordinasi antar instansi itu justru akan membuat trotoar menjadi semrawut,†katanya.
Kepala Bidang Pemeliharaan Jalan dan Jembatan Dinas Pekerjaan Umum Provinsi DKI Jakarta, Juaini membenarkan pernyataan koalisi tersebut. Akibatnya, saat kondisi trotoar dinyatakan krisis, pihaknya mengaku kesulitan membenahi trotoar yang masih belum memadai di sebagian besar ruas jalan di ibukota.
Di Jakarta, tiga dinas yang disebut Koalisi Pejalan Kaki mendapat alokasi anggaran untuk pembangunan dan pemeliharaan trotoar. “Cuma kadang-kadang tumpang tindih sama pertamanan juga yang pedestrian itu, anggarannya juga ada,†ujarnya.
Tahun ini, dari Rp 196 miliar anggaran untuk bidang pemeliharaan jalan dan jembatan, Dinas Pekerjaan Umum mengalokasikan sekitar Rp 20 miliar untuk perbaikan trotoar. Dana itu akan digunakan untuk memperbaiki kerusakan pada lebih dari 25 lokasi di lima wilayah DKI Jakarta.
Namun Pelaksana harian Kepala Seksi Jalur Hijau Jalan Dinas Pertamanan DKI Jakarta Sumardiono membantah adanya tumpang tindih kewenangan tersebut.
“Enggak sih, kami waktu bangun itu juga koordinasi dengan Dinas Pekerjaan Umum,†ujarnya.
Menurutnya, sebelum mengajukan usulan pengeloaan trotoar, pihaknya lebih dulu membawa proposal ke tingkat provinsi, sampai mendapat dasar hukum berupa surat keputusan dari gubernur. Dinas Pertamanan, lanjut Sumardiono, berfokus pada pembangunan trotoar dengan konsep pedestrian. Misalnya saat membangun menggunakan floorhardener dan batuan andesit, tidak memakai paving blok.
Sementara Dinas Pekerjaan Umum memperlebar trotoar.
“Kalau trotoar yang masih belum tertata itu di Pekerjaan Umum, tapi yang sudah ada perubahan struktur di kami,†tandasnya. [Harian Rakyat Merdeka]