Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyayangkan sumber daya energi yang dimiliki Indonesia banyak dikuasai asing. Alhasil, kemandirian energi sulit terwujud.
“Masyarakat belum bisa menikmati kemakmuran dari kekayaan sumber daya alam yang kita miliki,†ujar anggota BPK Ali Masykur Musa kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Menurut dia, sulit terwujudnya kemandirian energi nasional karena selama ini pengelolaan sumber daya alam nasional banyak didonimasi oleh perusahaan asing.
Ali mengungkapkan, saat ini asing menguasai 70 persen pertambangan minyak dan gas (migas), 75 persen tambang batu bara, bauksit, nikel dan timah, 85 persen tambang tembaga dan emas, serta 50 persen menguasai perkebunan sawit.
“Ironisnya, Pertamina dalam hal ini BUMN migas kita hanya menguasai 17 persen produksi dan cadangan migas nasional. Sementara 13 persen sisanya adalah share perusahaan-perusahaan swasta nasional,†ujarnya.
Selain dominasi perusahaan asing yang menggurita, faktor lain adalah ketergantungan Indonesia yang masih begitu tinggi terhadap energi fosil tak terbarui. Padahal, Indonesia memiliki sumber-sumber energi alternatif lain yang melimpah.
“Demi kepentingan masyarakat, paradigma tersebut harus mulai di ubah,†ujar Ketua Umum Ikatan Sarjana Nahdatul Ulama (ISNU) itu.
Agar masalah ini tidak berlarut-larut, dia menawarkan solusi dengan merevisi Undang-Undang (UU) Migas dan UU Minerba yang memungkinkan seluruh sumber daya energi dan pertambangan diusahakan dan dikuasai oleh negara.
“Itu sesuai dengan tujuan Pasal 33 UUD 1945,†kata Ali Masykur.
Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengakui, jika sebagian besar sumber daya mineral dikuasai asing dan hanya digunakan sebagai sumber devisa melalui ekspor barang mentah.
Untuk itu, katanya, pemerintah harus melakukan pelarangan ekspor barang mentah pada 2014 sesuai dengan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba.
“Sebab bangsa ini tidak akan pernah maju dari jual barang mentah dan kita selamanya menjadi bangsa yang bergantung,†ujarnya.
Selain pelarangan ekspor barang tambang mentah, lanjut Hatta, kebijakan lainnya adalah renegosiasi kontrak karya.
Freeport Harus DivestasiHatta menambahkan, pemerintah juga sudah meminta PT Freeport Indonesia untuk membangun pemurnian dan pengolahan bahan mentah (smelter). Lalu melepaskan sebagian lahan yang dikuasai, peningkatan royalti dan divestasi saham 51 persen.
Anggota Komisi VII DPR Bobby Rizaldy mengatakan, pemerintah pasti akan memperpanjang kontrak Freeport. Menurutnya, hal ini dilihat dari lambannya proses renegosiasi. Apalagi, hingga kini tidak adanya rencana strategis apakah setelah 2021 ada BUMN mineral kita baik PT Timah, Antam dan lainnya bakal menggantikan posisi Freeport.
“Kondisi ini membuat pemerintah tidak mempunyai pilihan selain memperpanjang kontrak karya Freeport,†kata Bobby.
Menurut Bobby, embel-embel seperti syarat smelter, pengembalian lahan dan royalti hanya syarat saja agar tidak melanggar UU Minerba. Pasalnya, tidak pernah dibicarakan mengenai penggantian format kontrak karya (KK) ke Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Jadi, katanya, proses renegosiasi ini jangan sampai hanya menjadi proses pencitraan politik semata, hal yang sebenarnya secara komersial bisnis bisa diselesaikan dengan cepat. “Pemerintah harusnya punya patokan, apakah lebih menguntungkan dikelola bangsa sendiri atau tetap menunggu royalti dan pajak dari pengelola asing,†jelasnya. [Harian Rakyat Merdeka]