ilustrasi, Produksi Minyak
Target produksi (lifting) minyak dan gas bumi kembali tidak tercapai tahun ini. Penerimaan negara pun bakal tekor.
Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), produksi minyak tahun ini akan tembus di angka 834 ribu barel per hari (bph). Atau lebih rendah dari target dalam APBNP 2013 sebesar 840 ribu bph.
Padahal, pemerintah juga sudah menurunkan target lifting dalam APBN 2013 sebesar 900 ribu bph menjadi 840 ribu bph. Kondisi ini juga akan berdampak pada penerimaan negara. Untuk tahun ini, penerimaan negara dari migas dipatok sebesar 31,7 miliar dolar AS.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan, penerimaan negara bakal semakin berkurang setelah target lifting APBN direvisi. Berdasarkan hitungannya, perubahan target lifting dalam APBNP 2013 dari 900 bph menjadi 840 bph sudah memangkas penerimaan sekitar Rp 18 triliun.
“Payah, target minyak melempem lagi. Ini dampaknya ke penerimaan negara akan semakin berkurang jika target kali ini tidak kembali tercapai,†uja Mamit kepada
Rakyat Merdeka, kemarin.
Menurutnya, penurunan produksi ini disebabkan banyak investor atau Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang belum melakukan kegiatan pengeboran. Selain itu, masih banyak lapangan migas yang sudah siap tapi tidak jadi dibor. Ditambah, kata dia, sumur-sumur yang ada sudah tua.
“Masalah izin menjadi faktor penghambat produksi. Saat ini banyak investor yang terkendala izin. Masalah lifting ini tidak terlepas dari masalah politik,†ujar Mamit.
Menurutnya, produksi minyak nasional saat ini rata-rata hanya 800 ribu bph, sedangkan konsumsi mencapai 1,2 juta bph.
“Ada yang tidak ingin produksi minyak kita tinggi karena ini terkait dengan bisnis impor minyak. Ditambah kilang kita juga sudah tua,†ungkapnya.
Menurutnya, pemerintah saat ini masih tertolong dengan dipisahkannya lifting gas karena dapat menambah penerimaan negara.
Anggota Komisi VII DPR Dito Ganinduto mengatakan, penurunan lifting tidak hanya dipengaruhi oleh faktor teknis. Tapi juga faktor non teknis seperti masalah perizinan yang banyak dan berbelit.
Menurut Dito, sebuah KKKS harus melewati ratusan izin untuk melakukan kegiatan pengeboron mulai dari pusat hingga ke daerah. “Selain itu, masalah pinjam lahan ke Pemda juga menjadi kendala,†katanya.
Karena itu, Dito menagih janji presiden SBY yang akan memangkas perizinan migas. “Saat acara
Indonesian Petroleum Association (IPA) presiden janji untuk memangkas perizinan migas. Kondisi itu tentu akan memperbaiki iklim investasi,†jelasnya.
Selain itu, kata dia, masalah kepastian hukum investasi. Menurutnya, saat ini banyak pegawai migas yang mengalami ketakuatan dalam melakukan terobosan produksi minyak karena tak ada kepastian hukum. “Setelah kasus Chevron banyak pegawai yang takut. Ke depan, perlu ada kepastian hukum untuk industri ini,†katanya.
Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini mengatakan, tidak tercapainya target lifting tahun ini belum tentu mengurangi penerimaan negara dari hulu migas. Alasannya, penerimaan negara masih dapat dikompensasi dengan kenaikan harga minyak.
“Naik turunnya harga minyak 1 dolar AS per barel sama dengan naik turunnya produksi minyak 20 ribu bph. Dengan ICP (Indonesia Crude Price) saat ini 110 dolar AS per barel dan asumsi ICP dalam APBNP 2013 sebesar 108 dolar AS per barel, masih mungkin penerimaan negara di atas yang telah ditetapkan dalam APBNP,†jelas Rudi.
Ia mengakui, pihaknya pesimistis mencapai target lifting dalam APBNP 2013 yang sebesar 840 ribu bph. Pihaknya hanya yakin produksi minyak bumi tahun ini hanya sebesar 834 ribu bph.
Kegiatan pemeliharaan sejumlah lapangan migas, lanjut Rudi, menjadi penyebab utama menurunnya produksi beberapa bulan terakhir. Namun, semester 2 tahun ini akan ada tambahan produksi dari tiga sumur Blok West Madura Offshore yang sudah dibor, meski masih terkendala dengan persoalan pipa. [Harian Rakyat Merdeka]