TAMPILNYA pengusaha Hary Tanoesoedibjo (HT) sebagai calon Wakil Presiden Partai Hanura, mendampingi Wiranto menarik untuk dibahas.
Pertama, HT melengkapi calon alternatif dari sipil dan pengusaha mewakili generasi lebih muda. Usianya baru 48 tahun pada tanggal 26 September 2013. Sekitar empat tahun lebih muda dari Jokowi, dan sama dengan usia Gita Wiryawan yang lahir pada tahun 1965. Sementara tokoh muda lainnya Anies Baswedan lahir pada tahun 1969, atau berusia sekitar 44 tahun.
Kedua, HT relatif baru dalam dunia politik. Namun demikian prestasinya di Partai Nasdem cukup cemerlang. Banyak pihak yang menilai bahwa keberhasilan Partai Nasdem lolos verifikasi KPU untuk ikut Pemilu 2014 tidak lepas dari kepiawian HT menggerakkan mesin politik di daerah-daerah dan juga meningkatkan citra Partai Nasdem sebagai partai alternatif untuk pembaharuan.
Pada tanggal 21 Januari 2013, HT mengundurkan diri dari Partai Nasdem karena perbedaan pendapat tentang struktur kepengurusan.
Hanya dalam waktu sebulan setelah keluar dari Partai Nasdem, HT mendirikan Organisasi Kemasyarakatan bernama Persatuan Indonesia (Perindo).
Ternyata langkah HT ini mirip dengan Wiranto sebelum membentuk Partai. Setelah gagal memenangkan pemilihan Ketua Umum Golkar tahun 2004, Wiranto mendirikan Ormas Perhimpunan Kebangsaan di tahun 2005. Sehingga tidak heran apabila Wiranto dan HT kemudian bersandingan dalam politik melalui Partai Hanura.
Ketiga, HT adalah pengusaha kaya yang menurut majalah Forbes berada pada peringkat 14 orang kaya di Indonesia dengan nilai kekayaan sekitar US$ 1,3 miliar. Yang paling menarik dari bisnis HT ada jaringan medianya yang sangat luas. Mulai dari televisi, radio, media cetak, dan jaringan televisi berbayar.
Dengan jaringan yang begitu luas dan kuat, maka serangan udara yang akan dilakukan oleh HT telah mengkhawatirkan partai lain. Meskipun Undang Undang nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran telah mengatur independensi dan netralitas isi penyiaran dalam berpolitik. Tapi tetap saja selalu ada celah yang kemudian dapat dimanfaatkan oleh partai politik maupun kandidat calon Presiden dan Wakil Presiden yang memiliki media sebagai salah satu bisnis utamanya.
Berkaitan dengan netralitas jurnalis dan media dalam politik, menarik untuk kita kutip pendapat Chris Matthews dari televisi kabel
MSNBC di Amerika Serikat. Pada saat wawancara TV 6 November 2008 secara gamblang dia menyatakan dukungannya kepada Obama.  Sebagai jurnalis dia beralasan: “
My job is to help the country.â€
Dengan perkataan lain, sulit kita mengharapkan ada media dan jurnalis yang bersikap netral atau independen dalam pemilihan umum di negara dengan sistem politik apapun. Keberpihakan media dan jurnalis kepada penguasa, seperti jaman Orde Baru, atau oposisi pergerakan mahasiswa tahun 1998 telah mewarnai dunia politik di Indonesia. Dan kedepannya media memang tidak harus netral sepanjang untuk kepentingan bangsa.
Namun tampilnya HT menjadi pendamping Wiranto, telah menggeser sebuah idealisme menjadi kepentingan pragmatis untuk memenangkan pemilu 2014. Itulah fenomena yang paling menarik dari dideklarasikannya pasangan Wiranto dan HT sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden 2014, bahkan sebelum pemilu dilakukan.
Tapi apa yang salah dari sikap pragmatisme tersebut ? Bukankah pendirian partai politik berlandaskan agama atau nasionalis juga sebuah sikap pragmatis untuk menarik dukungan dari masyarakat yang secara emosional dekat dengan istilah tersebut? Pada kenyataannya, ketika dekat dengan kekuasaan, sikap pragmatis yang ditunjukkan dengan segala upaya meraih dana melalui pemanfaatan anggaran negara telah banyak dilakukan oleh setiap partai dengan slogan idealisme apapun.
Kali ini Hanura dan Wiranto memutuskan, bahwa lebih baik menggandeng orang kaya dengan latar belakang pengusaha dari pada menggerogoti anggaran negara untuk menjalankan roda partai.
Dwight R. Lee, dalam tulisannya “
Why businessmen are more honest than preachers, politicians and professorsâ€, mengungkapkan alasan pengusaha lebih jujur bahkan dari pengkhotbah, profesor dan politisi. Ringkasnya karena produk atau jasa apapun yang dijual pengusaha di masyarakat itu bisa diuji kebenarannya. Dalam program promosi, pengusaha juga lebih komit dan jelas ukuran untuk kepuasan pelanggan dari pada politisi yang lebih banyak membuat janji-janji politik.
Berbicara tentang orang kaya, belakangan ini secara kasat mata kita bisa melihat banyak orang kaya tidak saja dengan latar belakang pengusaha. Tetapi juga dengan latar belakang pengkhotbah, politisi, birokrasi, polisi maupun militer. Mereka juga banyak yang kemudian terjun ke politik atau bertanding untuk menjadi pemimpin politik di daerah maupun di tingkat nasional.
Fenomena terpilihnya Jokowi, yang berpasangan dengan Ahok politisi mantan Golkar, orang Cina dan Kristen, menggambarkan bahwa masyarakat kita sudah semakin pintar untuk memilih pemimpin yang mereka anggap baik dan akan berjuang untuk rakyat banyak.
Ditambah dengan munculnya figur Ahok dan HT, hal ini menggambarkan semakin dewasanya iklim demokrasi politik di Indonesia. Demokrasi politik yang semakin dewasa akan memungkinkan munculnya pemimpin-pemimpin muda yang membawa memberikan udara bersih pada sistem demokrasi Indonesia.
Dari kalangan profesional, selain Gita Wiryawan ada juga Emirsyah Satar, Presiden Direktur Garuda Indonesia, Ignasius Jonan, Presiden Direktur PT KAI, Karen Agustiawan, Presiden Direktur Pertamina, Agus Martowardoyo, sekarang Gubernur Bank Indonesia. Mereka-mereka adalah profesional yang telah melakukan langkah terobosan nyata untuk perbaikan kinerja perusahaan dan layanan kepada masyarakat. Peluang mereka untuk tampil sebagai pemimpin negara ini juga bisa saja.
Namun sesuai UU No 48 tahun 2008 bahwa calon Presiden dan Wakil Presiden hanya boleh diajukan oleh partai politik yang meraih 20 persen kursi di DPR atau memperoleh minimal 25 persen suara nasional dalam pemilihan umum legislatif, maka kita hanya bisa mengharapkan pengajuan calon pemimpin muda masa depan Indonesia dari partai politik. Dan kita harapkan akan muncul keberanian partai politik lainnya, seperti yang dilakukan Partai Hanura. Yaitu dengan mengajukan calon pemimpin muda yang lebih enerjik, bebas korupsi, dan akan mendahulukan kepentingan rakyat banyak. Semoga !!!
[***] Penulis adalah sosiolog dan tinggal di Jakarta.